Thursday, June 29, 2006
Nasib di Tangan Secuil Angka
Malang benar anak-anak sekolah masa kini. Sudah bayaran sekolah mahal, harga buku selangit, diganggu narkoba dan tawuran, sekarang pun harus menjalani kelinci percobaan kebijakan baru soal kelulusan.

Ini babak baru. Bagaimana anak-anak sekolah, terutama SMP dan SMA, dengan dukungan orang tua, LSM dan pengamat, melakukan class action kepada pemerintah karena dianggap salah merancang kebijakan penentuan lulus.

Pemerintah memang aneh. Mengapa senang sekali mengubah hal-hal kecil yang dulu sudah mapan dan biasa dijalani selama bertahun-tahun. Dulu, kelulusan siswa sekolah ditentukan oleh nilai kumulatif sejak semester pertama hingga enam. Sementara Nilai Ebtanas Murni (NEM) hanya sebatas untuk prasyarat masuk ke jenjang berikutnya.

Tapi sekarang, seorang siswa akan ditetapkan lulus jika bisa mencapai nilai minimal 4,25 dalam tiga pelajaran yang terdapat pada Ujian Nasional (UN) dan nilai rata-rata 4,50. Jika salah satu dari tiga itu nilainya tidak mencapai kuota minimal, silahkan mengulang tahun depan.

Kalau begini, sia-sia saja murid belajar banyak pelajaran selama tiga tahun, tetapi kelulusannya hanya ditentukan di tiga pelajaran; matematika/ekonomi, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris/asing. Secara logika, harusnya tak ada masalah karena cuma tiga yang diuji, tidak seluruhnya. Tapi juga tak bisa hanya itu saja untuk menentukan kelulusan siswa, tidak fair. Kalau demikian, lebih baik jarang masuk ke sekolah, tapi pastikan dapat nilai di atas 4,5 untuk setiap pelajaran di UN.

Kasihan sekali bagi mereka yang tidak lulus dan tak sedikit yang merupakan murid teladan, atau katakanlah, dikenal cerdas di sekolahnya. Sekarang ini banyak siswa depresi, sebagian mencoba bunuh diri, karena tak kuat menerima realita tak lulus padahal dia merupakan siswa favorit dan telah diterima di kampus via proses penyaringan bakat dan kemampuan.

Apapun, polemik ini tentu terkait dengan Depdiknas yang tidak tepat mengeluarkan standarisasi kelulusan sekolah. Di sisi lain, ini juga bisa menggambarkan kemampuan rendah siswa kita, jika tak mau dibilang buruk, dalam pelajaran tertentu. Pasti tak semuanya salah mutlak. Semua saling terkait.

Penetapan nilai 4,25 sebagai batas lulus yang dilakukan pemerintah plus persetujuan DPR harusnya sudah melalui proses studi kelayakan. Masih untung 4,25 bukan nilai 6.

Tetapi bagi para guru, ini pun ditentang. Masalahnya, yang menguji hasil ujian bukan guru tetapi Depdiknas. Tapi guru juga sedikitnya punya tanggung jawab atas kemampuan siswanya untuk memenuhi kuota nilai itu. Nasib guru yang tak nyaman sudah banyak orang tahu, tapi bukan berarti mengajar dengan baik harus diabaikan. Jika sudah mengajar dengan baik, maka diuji siapapun tak akan gentar. Murid pun demikian, belajar dengan tekun adalah tugas dasar siswa bahkan mahasiswa sekalipun.

Waktu kuliah di fakultas ekonomi, saya pernah ngendon di kelas ekonomi mikro sampai dua semester. Bukan apa-apa, itu pasti karena kurang tekun belajar. Alhasil, belajar lebih giat ditambah dengan tekad untuk mengubah titik nasib yang sementara ada di sebuah angka (huruf), maka kelas itu berhasil saya lewati dengan sukses.

Buat para pelajar, perasaan tidak karuan saat mengetahui tidak lulus memang menyakitkan. Saya paham benar dan pernah merasakan meski dalam strata yang berbeda. Tapi hidup kan harus berlanjut. Kegagalan hanyalah keberhasilan yang tertunda. Tinggal sekarang siapa yang akan mengubah kegagalan itu jika bukan kita sendiri dengan restu Sang Kuasa.


 
posted by Hedi @ 3:26 PM | Permalink | 6 comments
Friday, June 23, 2006
Kebisingan Kantor
Polusi tak selalu berhubungan dengan udara atau alam. Polusi suara kini menjadi hal yang kerap dikeluhkan orang, baik di kantor atau rumah, mulai dari suara telpon hingga tukang dagang.

Mas Deny mengeluhkan suara-suara promosi tukang dagang yang mengganggu putrinya yang tengah tertidur. Mas Bahtiar pun pernah merasakan bagaimana suara telpon di kantornya bisa bertahan lama tanpa banyak yang menggubris. Padahal jika itu terjadi di kantor saya, bos akan marah karena siapa tahu si penelpon akan menghadirkan profit. *halah*

Tapi tren kebisingan di kantor sekarang memang bukan lagi printer dot matrix, suara karyawan yang ngerumpi atau kibord komputer, melainkan ringtone ponsel. Di sebagian Amrik, ponsel sudah jadi barang terlarang di ruang kerja. Selain ringtone-nya bikin bising, pembicaraan antar karyawan bisa terinterupsi hanya gara-gara salah satu lawan bicara harus menerima telpon masuk di ponselnya. Dan ujungnya, produktivitas karyawan terganggu.

Ponsel memang jadi tertuduh jika sudah begini, padahal ini ulah sang pemilik. Saya memerhatikan banyaknya karyawan yang menyalakan ponsel meski sedang meeting. Sudah pasti banyak kata "maaf" yang muncul begitu ringtone berbunyi. Lebih parah lagi, saat meeting dengan klien pun, ponsel tetap aktif. Lain halnya apabila ponsel harus aktif sehubungan dengan bahasan meeting atau pembicaraan.

Satu lagi yang membuat saya kadang terganggu di ruang kerja adalah suara musik dari komputer. Jika hanya satu kompie yang menyetel MP3, mungkin bisa ditolerir. Bagaimana jika hampir seluruh kompie memasang MP3 dengan lagu yang beragam dan memasang volume lumayan keras. Kantor jadi mirip deretan konter kaset.

Bagaimana dengan kantor anda, bising atau tenang? Senangkah anda?

 
posted by Hedi @ 12:31 AM | Permalink | 19 comments
Saturday, June 17, 2006
Pose Nudis? Pikir Dulu deh
Ujaran yang mengatakan batasan antara seni dan pornografi sangat tipis, mungkin ada benarnya. Berfoto dengan pose setengah bugil atau polos sama sekali akan mengundang kecaman, polemik, kontroversi dan sebagainya, kendati si pelaku tetap ngotot itu adalah untuk kapasitas seni.

Di Indonesia, kasus terakhir yang mengundang protes adalah foto Anjasmara dan Isabel Yahya. Meski pihak terkait mengklaim untuk seni dan dilakukan dalam kondisi tertutup (pakai baju) sebelum dimodif komputer, tetap saja protes mengalir.

Di Austin, Texas, Amrik, belum lama ini juga muncul kasus serupa. Si pelaku adalah seorang guru kesenian bernama Tamara Hoover di SMA lokal yang mengklaim foto semi nudisnya adalah seni. Ini adalah sekolah yang sempat dihuni dua putri kembar presiden AS, George W. Bush, Barbara dan Jenna.

Namun, Hoover barangkali ndak berpikir jernih sebelum berfoto. Di AS, foto seperti itu bisa jadi tak ada masalah, tapi akan jadi rumit karena Hoover berpredikat sebagai guru. Masa guru sekolah berfoto semibugil. Alhasil, Hoover pun akan segera di-PHK setelah lebih dulu sudah diskorsing. Dan dia sendiri tengah bersiap untuk membawa masalah ini ke meja hijau.

Foto-foto jepretan temannya itu sempat beredar di Internet melalui Flickr, tetapi kemudian (mungkin) dibredel sendiri setelah seorang murid melihatnya melalui komputer di kelas dan menjadi polemik. Sementara foto-foto karya seni lainnya (tidak bugil) masih ada di sini.

Namun yang namanya hidup selalu ada dua sisi, demikian pula hal ini. Kendati dikecam serikat guru, sekolah, otoritas kota dan pihak lainnya, ternyata masih ada juga yang bernada simpati atau mendukung, salah satunya Tim Trentham. Tapi entahlah, apakah dia dan pendukung lainnya memang pecinta seni atau penikmat nudis.

 
posted by Hedi @ 3:29 PM | Permalink | 10 comments
Tuesday, June 13, 2006
Adipura ABS

Pemerintah minggu lalu punya hajatan tahunan, membagikan penghargaan Adipura dan Kalpataru. Biasanya, saya tidak terlalu antusias memperhatikan kabar soal hadiah untuk kebersihan itu, khususnya Adipura, karena lebih banyak unsur politis. Tapi saya jadi kaget begitu Jakarta disebut sebagai salah satu peraihnya.

Jakarta bersih? Wah saya tak setuju, kalau tak boleh 100 persen, ya 90 persen. Tentu saya tak perlu menjelaskan bagaimana kotornya ibukota ini. Mungkin saja bisa dibilang bersih kalau dibandingkan dengan Bandung yang sempat punya julukan baru "lautan sampah" atau kota metropolitan lainnya -- saya tak tahu.

Kemarin dalam perjalanan pulang dari kantor, saya terhenti sebentar di perempatan Prapanca. Pasalnya, rombongan Adipura Jakarta Selatan lewat untuk menuju kantor Walikota Jakarta Selatan. Piala kecil itu dipegang oleh pasangan Abang-None di sebuah mobil hias. Katanya, arak-arakan itu sudah berpawai di jalan Sudirman, tapi saya lihat sepanjang jalan tak ada sambutan meriah dari masyarakat.

Saya jadi teringat bagaimana pemerintah kota melakukan kebijakan (curang) untuk mengelabui tim penilai kebersihan. Tim akan bekerja selama tiga hari (minimal) dengan memutari daerah-daerah yang perlu dinilai. Untuk itu, kecamatan atau kelurahan akan "meliburkan" para pedagang kaki lima di wilayahnya.

Beberapa waktu lalu, di kawasan kantor saya di daerah Blok M, seluruh pedagang makanan kaki lima dan kios rokok yang ada di trotoar jalan dilarang berjualan selama tiga hari. Dan ketika saya tanya atas perintah siapa, kelurahan katanya, demi Adipura.

Modus seperti ini juga dilakukan jika akan ada upacara besar di lapangan mabes Polri di jl Falatehan Blok M. Pedagang dan kios rokok harus digulung sementara supaya tidak terlihat para jendral. Modus yang sama juga terjadi jika sholat Idul Fitri atau Idul Adha digelar di lapangan itu karena para petinggi polisi negeri ini akan hadir dan bersembahyang di sana.

Buat orang-orang yang bekerja di daerah itu, liburnya pedagang membuat sulit urusan ransum. Bahkan membeli rokok pun menjadi urusan berabe. Namun pemda pasti enggan mengerti dan lagi pula cuma sebentar. Yang penting...asal bapak senang (ABS).

 
posted by Hedi @ 4:38 PM | Permalink | 15 comments
Monday, June 12, 2006
SCTV dan Listrik

Buruknya manajemen kemasan siaran Piala Dunia 2006 oleh SCTV sudah banyak dikeluhkan dan dikecam orang. Mulai dari pesta pembukaan yang tidak disiarkan sampai pemilihan Titiek Prabowo Soeharto sebagai host.

Tapi pagi ini saya dapat bocoran bahwa kebijakan tak populis itu akan diteruskan oleh SCTV. Bahkan rencana awalnya bukan mbak Titiek yang ditempatkan di sana, tetapi Gus Dur!! Dari seorang sumber yang dekat dengan SCTV, mereka akan menghadirkan sejumlah pembawa acara berbeda dan yang pasti bukan dari kalangan dekat sepakbola, namun politik! weleh.

Saya lebih setuju jika Gus Dur yang duduk di kursi pemandu acara. Lepas dari sosoknya yang kontroversial, kemampuan berbicara mantan RI 1 itu di muka publik dan pemahamannya tentang sepakbola masih lebih mumpuni dibanding anggota keluarga Cendana di atas.

Pengambil keputusan di SCTV tentu punya strategi bisnis dengan kebijakan siarannya ini. Sedikit atau banyak, itu memang harus dihargai. Mungkin mereka ingin buat sesuatu yang lain dari umumnya. Tapi itu justru bisa melemahkan citra stasiun karena dianggap tak becus menyiarkan pesta olahraga. Masih untung, kesal atau tidak, orang tetap akan menonton. Maklum kita tak ada pilihan lain.

Di bagian lain, semalam listrik sempat padam sekitar setengah jam sebelum partai Meksiko vs Iran digelar. Tentu saja, sumpah serapah semburat dari mulut mereka yang berkepentingan. Kepanikan juga melanda kantor saya, maklum SMS Service harus tetap diupdate. Tak ada siaran TV tak masalah, tapi tak ada listrik berarti mematikan internet pula dan informasi tak bisa dikirim ke server SMS.

Seorang rekan di kantor pagi ini mengatakan Jakarta bagian utara dan mungkin juga pusat ikut padam. Beruntung saat pertandingan sudah berjalan sekitar lima menit, listrik hidup kembali dan dua orang input data akhirnya batal bekerja via warnet.

Kalau sudah begini, biar pun SCTV tampil dengan acak adul, orang tetap akan setia berada di depan TV. Asalkan satu hal, listrik tidak mati dan gambar di televisi masih tetap bisa dan layak dilihat.

 
posted by Hedi @ 10:01 AM | Permalink | 11 comments
Gol Inggris Murni Bunuh Diri

Inggris menang tapi tidak mencetak gol. Kemenangan St. George Cross 1-0 atas Paraguay di laga Piala Dunia 2006 dipastikan berkat gol bunuh diri kapten Paraguay Carlos Gamarra. Hal itu disampaikan oleh Technical Study Group FIFA (TSG).

Beberapa jam setelah pertandingan, FIFA melalui TSG memang mengatakan bahwa gol itu akan dipelajari lebih lanjut untuk menentukan apakah Gamara atau David Beckham yang melakukannya.

Hasilnya, gol tetap berpredikat "bunuh diri". Alasan TSG seperti yang diucapkan juru bicaranya, Markus Siegler, yang dikutip kantor berita Associated Press adalah maksud awal Beckham yang mengirim bola bukan langsung ke gawang, tapi sebagai umpan bagi rekan-rekannya.

"I can confirm it was definitely an own goal -- it was a center from Beckham, not an intended shot."


Sebelum Piala Dunia digelar, TSG memang sudah mengeluarkan definisi baru mengenai gol bunuh diri. Ada tiga item yang mereka tekankan.

  1. Apabila bola sempat menyentuh rekan setim sebelum masuk ke gawang lawan, maka pencetak gol adalah pemain pertama yang mengirim bola langsung ke target gawang.
  2. Jika bola yang dieskekusi pemain pertama tidak menuju ke gawang, tapi kemudian berubah arah ke arah gawang setelah sempat menyentuh rekan setim, maka pemain terakhir dianggap sebagai pencetak gol.
  3. Poin 2 juga berlaku apabila bola menyentuh pemain lawan sebelum masuk ke gawang lawan.
Jadi, Gamarra merupakan pemain pertama yang melakukan bunuh diri di Piala Dunia Jerman. Semoga nasibnya tak seperti Andres Escobar yang tewas secara tragis setelah melakukan bunuh diri.

 
posted by Hedi @ 1:23 AM | Permalink | 6 comments
Sunday, June 11, 2006
Catatan Perjalanan (2)

Sudah lama sekali saya tak berkunjung ke Yogya, mungkin sekitar empat tahun. Dalam kunjungan singkat saya yang hanya sehari semalam, pemandangan tradisional Yogya mulai meredup seiring perjalanan jaman.

Mal saja kian banyak, belum lagi kios dagang dan jasa yang makin menjamur. Di tiap jalan kota yang saya lewati selalu ada barisan toko asesoris ponsel, salon, toko buku, warnet, restoran/warung makan, dan bla...bla...bla. Yang belum sepadat jalan biasa, mungkin hanya di aera ring road. Buat saya pribadi, ini adalah latah umum negeri ini. Orang buka toko, yang lain pun ngiler, apalagi kalau yang pertama berhasil laris :)

Tapi saya senang memperhatikan gaya berkendara masyarakat di sana. Pengendara motornya jarang yang ngebut, entah apa karena jarak tempuh mereka masing-masing tak terlalu jauh dan tak banyak kemacetan sehingga tak perlu menarik gas terlalu dalam agar cepat sampai. Namun, hal lain yang buat saya miris adalah sulitnya memotong keramaian di Yogya. Baik pengendara sepeda motor, apalagi mobil, jarang mau mengalah untuk memberi lewat kepada orang lain.

Urusan motor bisa berbeda ketika saya sudah ada di Surabaya pada hari Minggu. Selama tiga hari di sana, sikap mengendarai motor masih belum berubah sejak saya masih tinggal di Jawa Timur (Malang). Saling potong jalan, berbelok seenaknya, dan menyalip semaunya menjadi menu biasa yang saya lihat. Kalau di Jakarta seperti itu, kita pasti jadi santapan makian orang banyak. Di Jakarta, motor banyak yang ngebut, tapi urusan memotong jalur orang seenaknya bisa jadi barang yang agak tabu.

Dari dulu saya sebenarnya tak terlalu senang datang ke Surabaya meski di sana banyak famili dan kawan. Alasannya bukan karena motor, tapi cuaca panas yang buat saya sulit ditolerir. Panas Surabaya agak aneh karena sering buat badan tidak berkeringat. Tapi ketika di sana minggu lalu, saya dibuat terkejut karena panas Surabaya sudah tak berbeda dengan Jakarta. Padahal musim kemarau.

Waktu saya tanya pada teman saya, dia bilang karena efek penghijauan di seluruh area kota. Dari informasi dia, walikota Surabaya peduli pada hutan kota sehingga hampir seluruh kebijakan umum kota dikaitkan dengan topik itu. Untuk izin pemasangan reklame diwajibkan menyumbang sejumlah pohon, untuk mengurus nikah di KUA pun diwajibkan menyumbang hal yang sama, dan sebagainya. Mungkin saja karena banyaknya pepohonan baru, suhu Surabaya dan jenis panasnya menjadi mirip dengan Jakarta.

Namun Surabaya tak berbeda pula dengan Yogya untuk urusan mal. Di kota pahlawan, saya diajak keliling kawan ke sejumlah mal baru seperti Super Mal Pakuwon atau Carefour di tengah kota yang baru dibuka (dengan pengamanan satpam berpakaian safari yang agak over). Saat ini pula di daerah bundaran Waru sedang dibangun kompleks mal dan apartemen super.

Tetapi hal paling menarik dari seluruh pengalaman kecil dalam beberapa hari trip ke Jateng dan Jatim itu, adalah saat naik pesawat untuk pulang ke Jakarta. Di sebelah saya ada seorang ibu yang terus menutup mata dan berkomat kamit (berdoa) selama penerbangan. Saya perhatikan doanya makin khusuk ketika pesawat bergoyang-goyang (pemandangan di luar memang mayoritas berawan).

Saya jadi teringat anekdot konyol soal siapa yang punya faktor paling signifikan agar orang berdoa tanpa disuruh. Jawabannya bukan pemimpin agama atau presiden negara, tetapi pilot. "Di sini kapten menginformasikan bahwa kita sekarang terbang dengan satu mesin karena mesin pesawat sebelah kanan mati...." Apa reaksi penumpang? Tentu saja berdoa!!!

 
posted by Hedi @ 5:29 AM | Permalink | 4 comments
Thursday, June 08, 2006
Catatan Perjalanan (1)

Kepergian saya ke Yogya pekan lalu sebenarnya tak direncanakan sebelumnya. Bos memang sudah pernah ngomong, tapi baru bisa dipastikan Kamis malamnya. Alhasil saya jadi tak punya persiapan matang.

Dengan satu tas backpack, isinya hanya peralatan mandi dan t-shirt tanpa membawa sepatu atau baju resmi sebagai antisipasi jika ada acara resmi. Beruntung saya sudah titip pesen kepada rekan di kantor supaya mempersiapkan kamera foto dan video, sehingga bisa terangkut.

Saya pergi dengan dua orang rekan dan terpaksa menggunakan mobil pribadi. Tak banyak yang bisa diceritakan. Situasi perjalanan susah enggak, terlalu enak juga tidak, datar-datar saja. Tetapi yang paling mencolok perhatian saya adalah kualitas jalan yang sangat parah di sepanjang lintas utara hingga Yogya.

Mulai keluar tol Cikampek, kami sangat akrab dengan tambalan aspal dan lubang sehingga persis permukaan bulan (bener gak ya). Dari Sukamandi, Prupuk, Bumiayu, hingga Purworejo, aspal tak ada yang mulus total. Beruntung kami tak bertemu dengan kemacetan, mungkin karena bukan suasana bulan Ramadhan di mana sering ada pasar tumpah.

Satu hal lain yang saya perhatikan adalah minimnya pom bensin yang menyediakan bahan bakar pertamax. Beruntung kami pakai mobil yang mengkonsumsi premium. Seingat saya, sepanjang jalur yang kami lewati hanya ada satu pom dengan muatan pertamax.

Berangkat dari Jakarta jam 8 pagi, sampai di Yogya sekitar jam 16.30 dan langsung menuju hotel kelas melati (kenapa bukan anggrek atau mawar) di sekitar kampus UGM. Di sini kami mendapat kejutan.

Baru saja menaruh tas dan duduk di luar kamar untuk bersantai sejenak, muncul keributan antar sesama pendatang dari Ternate dan Maluku. Berasal dari masalah cewe (katanya), baku hantam tak bisa dihindari di depan kamar para tamu. Dengan bahasa daerah yang tak saya ketahui artinya, sekitar lima-enam orang menghajar satu orang hingga babak belur, persis di depan saya.

Saya tak mau beranjak dan terus menyaksikan tanpa berniat melerai atau apapun juga. Si korban mendapat hajaran khas smackdown, mayoritas berupa tendangan ke arah kepala. Sungguh sadis!! Bahkan ada seorang yang tetap menendang kepala korban hingga membentur tembok saat si korban sudah tak berdaya tergeletak!

Beruntung hotel itu ketempatan para dokter relawan gempa, sehingga secara sukarela membawa si korban ke rumah sakit. Tetapi saya yakin sekali bahwa dia mengalami gegar otak ringan. what annoying welcome party.

 
posted by Hedi @ 9:34 PM | Permalink | 7 comments
Friday, June 02, 2006
Yogya-Surabaya

Hari Jumat ini saya bertolak meninggalkan Jakarta untuk menuju Yogyakarta. Sayangnya, ini bukan untuk membantu saudara-saudara di sana yang sedang terkena musibah gempa. Tetapi menjalankan kewajiban sebagai seorang karyawan kantor.

Entah kenapa di saat ada musibah (nasional) di kota itu, tetap saja perhelatan olahraga digelar. Memang turnamen juga sekaligus digagas untuk penggalangan dana aksi kemanusiaan, tapi rasanya tidak pas saja.

Di kota gudeg, saya akan menginap sekitar tiga hari dan melanjutkan perjalanan ke Surabaya untuk mengunjungi seorang kawan lama sebagai acara cuti saya yang cuma dua hari. Entah apakah di rentang waktu itu nanti, saya masih bisa posting cerita-cerita unik nan menarik. Jadi, Sampai ketemu lagi.

 
posted by Hedi @ 1:09 AM | Permalink | 4 comments
Thursday, June 01, 2006
Blog...oh...Blog

Era baru penyebaran informasi melalui media blog di Indonesia, seperti halnya kala musibah bencana gempa alam di Yogyakarta, membuat saya yakin lebih banyak mengandung hal positif. Bahkan kalaupun anda menulis hal yang sensitif, misalnya politik, tetap saja aman.

Tetapi berbeda di luar negeri. Katakanlah di tiga negara; Cina, Iran dan Mesir. Dua negara pertama sudah bersiap untuk memberlakukan sensor terhadap muatan blog yang diterbitkan masyarakatnya. Kini Mesir pun berencana mengekor kebijakan tak populer itu.

Ini menyusul marahnya pemerintahan Hosni Mubarak terhadap muatan yang diposting oleh salah seorang blogger ngetop negeri itu, Alaa Abdel-Fatah. Pria berisitri Manal Hassan itu dan sejumlah blogger lain ditahan aparat setempat karena ikut mendukung gerakan protes anti pemerintah melalui blognya.

Namun blog kembali menunjukkan jati dirnya sebagai pemersatu atas nama solidaritas. Pemberitaan penangkapan melalui media konvensional di Mesir sangat terbatas, tapi dunia blog barat justru gonjang ganjing. Tak pelak lahir sejumlah blog yang menyuarakan dua slogan, tolong dan boikot. Menolong maksudnya membebaskan Alaa dan memboikot adalah meminta pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan bantuan rutinnya bagi Mesir yang mencapai 3 miliar dolar per tahun.

Lain rumah memang lain pula isi dapurnya, demikian pula blog. Di luar negeri, terutama barat, karena sudah mapan maka urusan politik menjadi lebih banyak memakan porsi. Berbeda dengan di tempat kita. Kekerabatan, kekeluargaan dan persahabatan yang kental ala timur membuat topik sehari-hari, kadang sangat enteng, menjadi lebih disukai untuk ditulis.

Belum lagi media konvensional di negera ini masih rajin mengulas berbagai berita aktual, termasuk politik, sebagai mainstream. Jadi kalaupun ada blog yang mau mengulas soal politik, misalnya, tentu dengan sudut pandang ringan tapi berisi dan tak bersifat agitasi, khas obrolan sambil minum kopi. Satu hal lagi, blog Indonesia juga menyediakan banyak tips, mulai dari urusan program komputer sampai memasak. Itu yang saya suka :D





 
posted by Hedi @ 11:00 PM | Permalink | 6 comments