Wednesday, May 31, 2006
Tembakau: Berbahaya Dalam Bentuk dan Samaran Apapun

Sehubungan dengan peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2006 yang jatuh pada tanggal 31 Mei 2006, maka kami, penulis blog yang peduli dengan masalah ini, bermaksud untuk memperingatkan kita semua akan bahaya tembakau:

  1. Memperingatkan kita semua bahwa tembakau BERBAHAYA DALAM BENTUK APAPUN. Rokok, rokok pipa, bidi, kretek, rokok beraroma cengkeh, snus, snuff, rokok tanpa asap, cerutu… semuanya berbahaya.

  2. Memperingatkan kita semua bahwa tembakau dalam jenis, nama dan rasa apapun sama bahayanya. Tembakau BERBAHAYA DALAM SAMARAN APAPUN. Mild, light, low tar, full flavor, fruit flavored, chocolate flavored, natural, additive-free, organic cigarette, PREPS (Potentially Reduced-Exposure Products), harm-reduced… semuanya berbahaya. Label-label tersebut TIDAK menunjukkan bahwa produk-produk yang dimaksud lebih aman dibandingkan produk lain tanpa label-label tersebut.

  3. Menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk sesegera mungkin meratifikasi WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) demi kesehatan penerus bangsa. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani perjanjian Internasional ini.

Internet, 31 Mei 2006

Tertanda,

Hedi Novianto
 
posted by Hedi @ 8:41 AM | Permalink | 5 comments
Monday, May 29, 2006
Gempa Yogya Dalam Bingkai Blog

Bencana gempa Yogyakarta sudah diketahui orang sedunia dan juga mulai melahirkan pergerakan besar penggalangan bantuan beserta penyalurannya, meski di sana sini masih banyak kekurangan. Tetapi menarik disimak bagaimana dunia blogging (minimal Indonesia) menyikapinya.

Mayoritas bloggers Indo dalam waktu dua hari terakhir bisa diperkirakan memuat posting tentang bencana itu. Mulai dari mereka yang mengalami sendiri seperti mas Eko, mas Lantip atau mas Herman dan pasti masih banyak lagi yang saya tak tahu alamat blognya. Kemudian ada pula yang menulis pengalaman para keluarga, saudara, kerabat dan handai taulannya. Atau juga ada yang menulis sekadarnya dalam cerita kegiatan pribadi hariannya.

Saya coba cari tahu berapa jumlah posting mengenai itu di Technorati. Hasilnya cukup mengesankan meski tentu tergantung cara melakukan penelitiannya. Saya sendiri hanya melakukan penelitian kasar, singkat dan kecil, serta tanpa pembanding dan menggunakan asumsi hingga Senin, pukul 18.30 WIB.

Dengan menggunakan keyword gempa jogja dan gempa yogya, hasil searching (berdasarkan posting sejak dua hari yang lalu) hanya ratusan. Tapi berbeda sewaktu saya menggunakan kata kunci umum dan tunggal, gempa. Hasilnya mencapai 6.471 posting (tentu jika sekarang anda melakukan pencarian dengan kata sama, hasilnya jauh lebih tinggi).

Pasti hasil itu kurang signifikan karena memuat database melebihi dua hari lalu. Dari halaman result, saya berhenti di page 42 karena di situ sudah ada postingan lima hari yang lalu. Tentu bencana gempa di Yogya belum terjadi, sehingga ulasan gempa di sana tak ada hubungannya. Salah satu posting pertama soal gempa Yogya yang muncul di halaman 42 adalah milik mas Pri. Dan total setelah melakukan pengurangan jumlah, saya dapati jumlah posting mencapai 760, itu pun dengan catatan hanya dalam bahasa Indonesia atau melayu.

Inilah dia dunia blog, yang dalam mengulas bencana bisa menggambarkan tag Merdeka; Bloggers Unite! Atau menurut ahli marketing Bob Julius Onggo dalam tulisannya yang berjudul "Membangun Brand Lewat Blogging". Brand di sini tentu saja gempa Yogya meski (harusnya) tidak digunakan dalam kapasitas mencari keuntungan (bisnis).

Brand dibangun dalam rangka berbagi cerita, menyampaikan simpati atau solidaritas, dan yang paling penting mengirim info terkait bencana dan efeknya. Tentu saja, fenomena ini diharapkan bisa meningkatkan kualitas penanganan pasca bencana karena berita akan terus bergulir sehingga orang (pembaca) bisa mengantisipasi secara cepat dan tepat. Selamat datang di era baru jurnalisme.


 
posted by Hedi @ 6:18 PM | Permalink | 6 comments
Saturday, May 27, 2006
Duka Belum Pergi

Kembali negeri ini harus bersimbah darah dan bercucur air mata. Musibah gempa bumi kembali terjadi (27/5) dan kali ini masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya yang menjadi korban. Diperkirakan lebih dari 2000 jiwa meninggal dan ribuan lainnya menderita luka.

Bencana ini menjadi pukulan kesekian bagi Indonesia dan penghuninya bahwa kita memang harus berbenah dalam situasi krisis multi dimensi. Hingga tulisan kecil ini dibuat, saya kesulitan untuk menghubungi kerabat yang tinggal di Yogya. Sudah pasti, jalur komunikasi dari dan ke Yogya berada dalam kondisi nadir.

Saya tidak meyakini bahwa bencana alam ini menjadi hukuman terbaru dari Tuhan, kecuali sebagai peringatan bahwa kita tidak boleh melupakan Sang Khalik. Tuhan tak pernah lagi mengeluarkan hukuman yang bersifat massal seperti halnya di jaman nabi. Justru, hubungan diagonal manusia dengan alam yang mungkin harus ditata kembali. Bagaimana perilaku kita yang sering merusak alam itulah yang menjadi pertanyaan. Alam pun punya keteraturan dan hidup, saat mereka marah, apapun bisa terjadi.

Saya teringat seorang kawan yang saat kuliah melulu belajar fisika dan geofisika. Seusai gempa dan tsunami di Aceh, dia bilang lempengan bumi antara Asia dan Australia akan terus mencari keseimbangan, entah hingga kapan. Saat gempa terjadi di Aceh, lempengan pesisir selatan mulai dari Nias hingga Selat Bali mengalami penurunan sekian milicenti hingga sekian centimeter. Penyeimbangan terjadi saat Nias mengalami gempa, kemudian gempa di Selat Sunda yang sempat dirasakan di Jakarta dan Lampung beberapa pekan lalu dan terbaru di Yogyakarta hari ini.

Kesimpulannya, masyarakat yang berada di pesisir selatan mungkin harus terus memasang kewaspadaan tinggi. Ada baiknya pemerintah mempercepat pemasangan alarm gempa dan tsunami yang sempat digagas bersama Jepang pasca bencana Aceh lalu.

Terakhir, saya sangat berduka. Meski keluarga besar tak ada yang berdomisili di sana, saya tetap prihatin karena banyak kerabat dan handai taulan berasal dari sana. Semoga para korban meninggal mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan dan korban luka serta mereka yang kehilangan harta jiwa dan benda tetap tabah, Amin.


 
posted by Hedi @ 7:58 PM | Permalink | 7 comments
Monday, May 22, 2006
Efek Da Vinci Code

Kala buku "Da Vinci Code" beredar tahun 2003, dunia sudah sempat geger karena muatan isinya yang cukup kontroversial. Tetapi kegegeran makin besar saat filmnya muncul di pasaran. Kehidupan beragama (minimal) umat Kristen mulai bergejolak.

Di sejumlah negara Eropa dan Vatican, film itu sudah menemui larangan tayang. Di Korea, umat Kristen juga sudah bergolak dan melakukan protes agar film itu dilarang. Hal yang mirip juga terjadi di India. Negeri ini bahkan lebih tegas karena sebagian umat muslim juga ikut membantu saudaranya dari golongan Kristen.

Di Indonesia, mungkin karena jumlah penganut yang masuk dalam ruang minoritas, gejolaknya jadi tak kelihatan. Tapi mungkin juga tak terlalu beriak karena gereja-gereja pun menyikapinya dengan berhati-hati dan tenang. Gereja saya di Kebayoran Baru justru melakukan "nonton bareng" film itu (tapi saya tak berniat ikut, karena bentrok dengan jam kerja) dengan topik "Fakta atau Fiksi".

Namun, apakah memang benar bahwa setelah mengonsumsi buku atau film itu, kekuatan iman seseorang akan goyah atau justru semakin tebal. Seperti halnya sebuah LSM Kristen yang harus menulis tentang tema itu karena seseorang meminta pencerahan akibat imannya kini goyah setelah menonton film. itu.

Saya sendiri tak banyak berpengaruh dengan hal itu. Sewaktu membaca buku itu dua tahun yang lalu, saya cuma gamang sesaat. Pertanyaan wajar "apa benar begitu", "mana yang benar", sempat terlintas. Tapi pada dasarnya kadar iman saya (mungkin) tak mudah goyah karena hal-hal seperti itu. Peristiwa penampakan, misalnya, yang menyerupai sosok Yesus di sebuah tempat, tetap tak akan mengubah ketebalan iman saya. Ada penampakan, film atau buku atau tidak ada sama sekali, toh (semoga) iman saya tak akan pudar.

Tentu itu bukan masalah fanatisme sempit atau buta, tetapi lebih meyakini yang selama ini dipelajari (melalui Alkitab). Kebenaran merupakan hal yang mutlak ketika berbicara mengenai ajaran agama dan kebenaran selalu mendapat tempat di mata Tuhan dan ditakdirkan berdiri sendiri. Meski kemudian kebenaran yang diklaim tak berarti bebas digunakan untuk menghujat pihak lain yang berbeda baju.

Misalnya saja seperti kasus "Eden" atau ajaran "Ahmadiyah" yang banyak ditentang. Jika mereka benar, mungkin akan semakin besar jemaatnya meski dalam proses menuju ke sana banyak menemui rintangan. Tetapi ajaran "baku" mengenai agama resmi telah terpatri di benak manusia, sehingga ajaran yang terlihat menyimpang akan sulit diterima.


"Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa." - Ibrani 12:3

 
posted by Hedi @ 7:31 PM | Permalink | 12 comments
Thursday, May 18, 2006
Komentator Jalanan

Pengasuh acara talkshow atau tayangan olahraga televisi sering menghadirkan para ahli atau komentator untuk membahas topik yang diusung. Urusan komentar dan analisanya bagus, benar atau tidak, itu tergantung orang melihatnya.

Final Liga Champions antara Arsenal vs Barcelona kemarin, sudah pasti menyedot perhatian masyarakat penggila sepakbola. Itu yang saya temui waktu makan siang tadi. Ada sedikitnya empat orang yang asyik membicarakan partai di Paris itu dengan serius. Saya yang sedang makan pun terpaksa ikut mendengarkan, tanpa mengeluarkan komentar.

Yang membuat saya kagum adalah komentar salah seorang dari mereka. Ucapan yang keluar dari mulutnya begitu rapi dan seperti fasih menganalisa permainan. Uniknya, dia adalah seorang pedagang mie ayam. Si mas yang tak saya tahu namanya, dengan lancar berbicara soal strategi, kinerja wasit, penonton, dan efeknya terhadap Piala Dunia sampai merembet ke sepakbola kita.

Saya diam-diam berpikir dalam hati, bagaimana kalau dia dihadirkan ke televisi. Mungkinkah SCTV mau menampungnya untuk menjadi komentator di siaran Piala Dunia nanti. Ah, itu terlalu utopia, lagipula dia belum tentu mau datang ke sana, karena unsur tak percaya diri, mungkin.

Kemampuan orang memang berbeda-beda. Tetapi orang jalanan pun ternyata punya banyak bakat terpendam. Suatu waktu di televisi, saya lihat ada anak jalanan yang membuat film kendati amatiran. Kemudian, sering pula sopir taksi bicara politik saat sedang mengantar penumpangnya.

Tapi menjadi komentator di televisi, saya yakini sulit walau tidak mustahil. Saya pernah sekali jadi komentator atau nara sumber topik sepakbola di sebuah radio mahasiswa dan itu saya akui cukup tricky. Penguasaan materi dan kemampuan berbicara di depan perangkat mikrofon menjadi sebuah kewajiban. Kadangkala, berbicara langsung tanpa ada perantara mikrofon atau kamera, bisa saja lancar. Namun jadi gagap begitu perangkat itu muncul di depan kita.

Salah satu contoh adalah saat orang di area umum diwawancarai reporter televisi soal masalah sosial. Tak banyak yang bisa berbicara dengan baik atau lancar dan justru terkesan grogi. Atau memang ini karena tak ada pelajaran pidato di kurikulum pendidikan kita, seperti halnya di negeri barat?

 
posted by Hedi @ 5:51 PM | Permalink | 8 comments
Wednesday, May 17, 2006
Menjadi Bos

Kawan sekerja berbeda divisi masuk ke ruangan saya dan menggerutu tentang tidak enaknya menjadi bos. "Jadi bos ternyata tak enak karena musti rela pusing soal duit, kirain enak!" katanya sambil menjatuhkan diri di kursi.

Saya cuma senyum mendengar gerutuannya, sebelum melontarkan pertanyaan apakah dia akan mengundurkan diri dari posisinya sebagai bos di divisi bersangkutan. Saya lihat wajahnya sedikit ragu sehingga saya menarik kesimpulan bahwa dia tetap lebih suka menjadi bos, meski berjumpa dengan kesulitan.

Tapi jika pertanyaan menjadi bos enak atau tidak diajukan kepada semua orang, pasti jawabannya akan sangat relatif dan tergantung kondisi di mana dia menjabat. Untuk masalah teman saya, kinerjanya sebagai bos bisa dibilang tak jelek. Ada dua hal yang membuat saya bisa katakan itu, pertama, turnover anak buahnya sangat sedikit dan kedua, banyaknya orang yang puas bekerja dengannya.

Setidaknya itu ringkasan dasar apakah seseorang bisa disebut bagus atau jelek dalam menjalani peran bos, menurut National Federation of Independent Business (US). Saya sendiri berusaha kuat untuk bisa menerapkan seluruh variabel yang ada jika harus bekerja dengan teamwork di bawah saya.

Tetapi sedikit banyak, saya juga punya tips sendiri, yang kurang lebih mirip dengan link di atas, saat bekerja dengan orang lain, baik di kantor atau tidak.

1. Bicara sopan, apapun kondisi emosi kita.

2. Membiasakan diri menggunakan kata "tolong" jika akan memberi perintah. Ini ada hubungannya dengan situasi timur kita. Bahasa Inggris pun menggunakan kata "please" untuk menunjukkan kesopanan.

3. Kalau harus marah, ya tidak di depan orang banyak.

4. Jika ada yang salah, beri petunjuk untuk memperbaiki (baca: bimbing).

5. Memperhatikan fasilitas (kenyamanan kerja) yang diperlukan.

6. Tidak perlu menunjukkan pemisahan berarti bahwa anda bos dan mereka anak buah. Sebuah tim kerja selayaknya dibangun dengan dasar keakraban, misalnya makan siang bareng-bareng atau bercanda sesekali.

7. Terbuka terhadap semua masukan atau usul.

Satu hal lagi dalam kasus teman saya, orang terkadang tak tahan hanya karena dimarahi oleh atasannya. Padahal harusnya ada kesadaran bahwa bos juga memiliki bos di atasnya sehingga proses hadiah dan hukuman untuk hasil kerja juga berlaku.

Saya pernah berbicara dengan seorang konsultan tenaga kerja dan menurutnya, jika anda tak suka dengan bos anda atau dengan apapun di kantor sehingga sudah tak tahan lagi, cuma satu solusinya; resign! Menurutnya, itu sebuah hal alami apalagi jika anda bukan karyawan paling handal di lembaga itu.


 
posted by Hedi @ 6:21 PM | Permalink | 4 comments
Sunday, May 14, 2006
Menikmati Sound Tipis

Kala menonton acara drummer tiga generasi secara live beberapa waktu lalu, saya sebenarnya puas dengan kualitas sound yang muncul. Tapi jadi kecewa sewaktu nonton via TV7 karena outputnya cukup minim, terutama untuk si drummer kecil. Namun lalu juga maklum, karena ini hal normal di bidang musik kita.

Beberapa hasil musik Indonesia memang cukup tipis, berbeda jika kita dengar dari amrik, meski ada pula yang tipis. Coba dengarkan kualitas rekaman grup /Rif. Musik mereka beraliran heavy-rock, namun terasa aneh di kuping karena soundnya yang tipis. Padahal kalau sound mereka tebal, saya yakin lagu-lagu mereka sangat keras dan menghentak.

Tak hanya /Rif yang begitu. Grup GIGI yang punya musisi sekaliber Dewa Budjana pun hasil rekamannya tak terlalu tebal, kecuali sound gitar dia. Hal yang sama menimpa grup EDANE yang hanya tebal di sound gitar Eet Syahranie. Dewa yang jadi grup paling wahid di sini pun demikian. Jangan tanya lagi dengan Peter Pan atau Radja atau grup atau musisi seumur jagung lainnya.

Namun tak semua tipis karena ada pula yang punya kualitas sound cukup baik. Biasanya, dari dan oleh mereka yang sudah lama di dunia rekaman. GOD BLess, Iwan Fals (terutama saat berkolaborasi dengan arranger Billy J. Budiarjo di album Orang Gila yang sudah almarhum), atau produk-produk pemusik jazz kita. Hasil olah sound mereka tak berbeda jauh dengan milik The Corrs atau Avril Lavigne. Tapi jangan bandingkan dengan milik Metallica, Sting, Mariah Carey, atau Van Halen yang sangat tebal, bahkan termasuk di live album.

Sebenarnya, usaha untuk menghasilkan sound yang tebal sudah banyak dilakukan oleh musisi, arranger atau sound engineer dalam negeri. Bahkan peralatan yang dipakai di sini sangat canggih dan kerap mengejutkan musisi luar negeri. Saya jadi ingat bagaimana grup trash metal seperti Sepultura bisa terkaget-kaget menyaksikan koleksi alat musik dan rekaman Setiawan Djodi. Tapi, hasil kurang maksimal tetap saja diraih. Edane selalu menambah sendiri jam rekaman mereka sewaktu masih dibawah label Aquarius. Namun karena masih tipis, master rekaman mereka justru dianggap demo tape saat dibawa ke amrik.

Ini memang berhubungan dengan sound mixing dan mastering, tak bisa dipisahkan. Menurut beberapa operator rekaman dan mixing tertentu, kesalahan ada di pihak mastering. Klaim mereka, sound yang sudah dimixing, terkadang dimixing kembali saat memasuki proses mastering. Menurut answers.com, mastering memang hanya sebuah proses transfer dari pita suara ke produk akhir, piringan digital. Kalaupun ada yang harus disesuaikan, apabila hasil mixing masih belum balanced.

When a mix submitted for mastering is unbalanced (e.g. a vocal is too low in level or a bass too boomy), the mastering engineer can quickly get caught up in a series of audio compromises since everything is already "soup" and mixed together. If the vocal level is brought up by isolating it with one band of a multi-band processor, a guitar part in the same frequency range will be brought up as well. Alternatively, if the boomy bass range is EQ'ed or compressed via the multi-band processor, the bass drum will also be affected. The more the submitted mix has presentation balance problems, the more compromises arise.


In either case, this type of balancing is not "mixing while mastering" but staying true to the artists original mix intent while simultaneously making the album translate well to a wide variety of playback systems (home, car, boombox, porta-pod, etc), have sonic and audio consistency track to track as well as ensuring the kind of overall professional sonic presentation demanded by both the artist and consumer.


Namun, untuk di Indonesia memang lebih kompleks. Ini berurusan pula dengan selera umum kuping pendengar yang heterogen. Menurut seorang kawan saya yang berprofesi sebagai musisi bayaran di studio rekaman, musik Indonesia yang penting ada unsur classical brass (rithym), piano, melodi gitar untuk interlude dan mendayu. Pasti laris, katanya. Tak penting soundnya tipis atau tebal. Mungkin saja pendapatnya benar karena yang saya tahu, sound engineer kita umumnya adalah lulusan amrik atau eropa. Jadi harusnya bisa buat kualitas sound yang bagus. Lha, yang kualitas soundnya biasa-biasa saja dan punya lagu enak didengar, tetap laku jutaan copy, jadi untuk apa bikin yang ideal.

Tapi kalau musisi kita mengadakan konser (solo) alias tidak keroyokan, kualitas sound yang keluar cukup baik. Mulai dari drums, guitar, bass sampai vokal, keluar dengan hasil seimbang (balanced). Yang repot justru jika kemudian konsernya disiarkan televisi, hasilnya jadi kurang memuaskan. Ini karena berhubungan dengan mixing dari dua mixer, satu adalah milik band dan kedua milik operator acara tv. Namun, seperti juga hasil rekaman, penonton tv mungkin sudah terhibur dengan mendengar kualitas sound sekadarnya plus melihat bintangnya sekaligus menikmati lagunya.

Jadi, urusan sound bisa jadi mirip dengan martabak. Biarpun tipis, kalau sudah "lapar" dan "kepingin", ya dihajar saja.

 
posted by Hedi @ 1:19 AM | Permalink | 5 comments
Wednesday, May 10, 2006
Sweeping Indonesiana

Sewaktu sekelompok masyarakat di Jakarta melakukan protes dan menyerang kantor redaksi majalah Playboy Indonesia, saya sudah khawatir bahwa ini akan jadi preseden buruk di masa datang.

Menyerang, menyerbu dan sweeping yang dilakukan oleh satu kelompok [atas nama umum] kepada sebuah pihak lain sudah menjadi biasa. Aparat pemerintah, baik pusat maupun daerah, anehnya tak pernah [minimal] menyatakan bahwa tindakan itu salah. Atas nama massa atau umum, sekelompok orang bisa melakukan apa saja terhadap sebuah pihak yang kelihatan lemah.

Akhirnya, artis ngebor Inul Daratista pun mengalami hal serupa. Rumahnya di Pondok Indah dan rumah karaoke-nya dijadikan pesakitan oleh sebuah organisasi massa. Mereka ingin Inul diusir keluar dari Jakarta. Tragis melihat Gubernur Sutiyoso cuma mengeluarkan pernyataan abu-abu atas insiden itu.

"Inul warga saya dan kelompok *** juga warga saya," katanya.


Mungkin, karena Sutiyoso juga gemar melakukan itu. Tradisi sweeping orang-orang dari daerah selepas Hari Raya Lebaran di Jakarta, sebagai buktinya. Lha, orang satu negara kok ga boleh kemana saja sesuka hatinya asal masih berada di dalam negara itu sendiri.

Yang terbaru, kelompok mahasiswa dan sebagian masyarakat di Makassar bersiap melakukan intimidasi dan sweeping terhadap sebuah etnis. Beruntung, akhirnya kondisi Makassar sudah normal kembali meski awalnya sempat mencekam.



Tindakan main hakim ramai-ramai seperti itu, saya yakin akan makin sering di masa datang. Ketidakpercayaan terhadap aparat berwenang yang bobrok, membuat masyarakat lebih senang melakukan eksekusi sendiri, entah itu salah atau lebih parah lagi, tidak menyadari bahwa itu tidak baik/bagus [saya tak berani mengatakan itu salah]. Tapi aparat memang tak bisa disalahkan sepenuhnya. Konon kata orang bijak, aparat negeri ini bobrok karena masyarakatnya juga demikian. Aparat kan berasal dari sana.

Pemerintah yang sebenarnya bisa menyebut apakah tindakan seperti itu salah. Mininal ada ketegasan dulu. Urusan nantinya ada yang akan diproses verbal, itu soal nanti. Pernyataan bahwa perbuatan seperti itu salah, harusnya ditanamkan dulu di benak banyak orang. Tapi inilah Indonesia dengan segala macam kelemahannya, suka atau tidak, itulah tempat kita tinggal, Indonesiana.
 
posted by Hedi @ 8:18 PM | Permalink | 4 comments
Yang Penting Bintangnya
"oooo buaya darat, busyet aku tertipu lagi"

Itulah penggalan lirik lagu duo Ratu saat membintangi iklan televisi Sharp. Gara-gara lagu itu, rekan kerja saya sampe bingung karena lagu dan iklan gak ada hubungannya.

Mungkin di Indonesia, trendnya memang begitu. Gak penting info keunggulan produk sampai di konsumen atau tidak, karena yang penting siapa bintang iklannya. Produsen boleh jadi tidak salah seratus persen, karena animo sebagian besar masyarakat senang dengan bintang.

Beberapa iklan televisi kita cukup banyak yang hanya menampilkan sosok bintang semata agar produknya laris, tanpa menampilkan pesan mengenai produk secara gamblang. Umumnya yang dipakai adalah para pelawak, komedian, atau orang-orang yang punya kemampuan melucu. Ironisnya, dialog atau aksi lelucon (storyboard) di iklan itu sering garing. Misalnya, iklan sepeda motor Honda yang dibintangi pemeran utama komedi-situasi Bajaj Bajuri.

Iklan dengan kemasan lucu mungkin bisa membuat orang senang melihatnya [tapi belum tentu membeli produknya]. Lalu iklan rokok Sampoerna Hijau yang dibintangi oleh Geng Hijau dan sempat meraih penghargaan iklan terbaik beberapa waktu lalu. Tapi yang ini memang berbeda. Dengan kemasan bagus nan lucu, informasi jika orang menghisap rokok itu pasti akan mendapatkan suasana ceria, bisa sampai ke konsumen. Uniknya, iklan itu tidak dibintangi oleh sosok terkenal, setidaknya sebelum iklan itu dibuat.

Iklan adalah hal paling penting jika ingin memasarkan produk. Tapi itu tidak bisa berdiri sendiri. Menurut prinsip 4P dalam ilmu marketing, antara produk, harga produk, sistem distribusi dan promosi harus berjalan seiring. Iklan bagus, tapi produknya masih kalah bersaing, tetap saja anjlok di pasaran.

Pepsi pernah mengeluarkan dana jutaan dolar untuk menjadikan mega bintang pop Michael Jackson sebagai bintang produk mereka. Ternyata, strategi itu tak berhasil sama sekali karena Coca Cola tetap tak tergoyahkan di pasaran. Ini membuktikan bahwa iklan dan produk harus punya sinergi.

Saya tak tahu apakah omset penjualan televisi Sharp naik drastis secara signifikan setelah dibintangi oleh Ratu. Sementara mungkin sepeda motor Honda tetap akan laku meski bintang iklannya bukan orang terkenal, who knows...

 
posted by Hedi @ 2:07 AM | Permalink | 5 comments
Sunday, May 07, 2006
Menindas Kesibukan
Kesibukan kerja memang tak kenal kompromi. Beberapa kawan blogger ternyata memiliki masalah yang sama, meski kemudian cara mengatasinya bisa berbeda.

Pekerjaan yang saya tekuni memang sangat menyita waktu dan tenaga. Berkutat di media berita sepakbola online, sering membuat hidup seperti terbalik. Bukan masalah produk berita yang buat lelah, tapi urusan menyediakan info lewat SMS yang paling menyita perhatian. Maklum, layanan itu tidak mengenal libur, malam atau dini hari.

Apalagi, kini ada agenda baru yang menuntut saya konsentrasi penuh selama dua bulan ke depan lagi. Mulai dari memilah lamaran yang masuk, wawancara, sampai proses training sudah menunggu.

Namun seperti yang dibilang Sisca, sekali-kali perlu juga memepet kerjaan. Masa kerjaan terus yang menekan kita. Saya sendiri sering bilang ke kawan-kawan bahwa waktu yang harus disediakan, jangan dibiarkan terbawa arus. Bagaimana mau sempat kalau waktunya tidak disediakan?

Saya juga merasa punya tanggung jawab moral, setidaknya begitu. Kawan-kawan blogger pasti masih setia berkunjung, masih mencantumkan sekedarblog di daftar link mereka. Tentu saja, saya pun harus memberi apresiasi kembali. Apalagi, ada Merdeka yang sudah membuka pintu untuk berpartisipasi.

Jadi, saya yang pernah "mati " nge-blog, tak sudi untuk kembali merasakan hal itu. Menimbang-nimbang alasan di atas membuat saya mendapatkan semangat baru dan memulai dengan mengganti template dan bertekad untuk tak lagi absen blogrolling.

Template yang baru ini diurus dengan waktu yang sangat-sangat sempit. Salah satu yang membuat saya sendiri tidak puas adalah color setup. Tapi yang sekarang ini, [semoga] tidak membuat mata sepe, karena ini hanya pembuka supaya saya jadi semangat untuk menulis lagi. Mohon maklum, saya bukan designer atau programmer...walah!
 
posted by Hedi @ 2:48 PM | Permalink | 8 comments