Pengasuh acara talkshow atau tayangan olahraga televisi sering menghadirkan para ahli atau komentator untuk membahas topik yang diusung. Urusan komentar dan analisanya bagus, benar atau tidak, itu tergantung orang melihatnya.
Final Liga Champions antara Arsenal vs Barcelona kemarin, sudah pasti menyedot perhatian masyarakat penggila sepakbola. Itu yang saya temui waktu makan siang tadi. Ada sedikitnya empat orang yang asyik membicarakan partai di Paris itu dengan serius. Saya yang sedang makan pun terpaksa ikut mendengarkan, tanpa mengeluarkan komentar.
Yang membuat saya kagum adalah komentar salah seorang dari mereka. Ucapan yang keluar dari mulutnya begitu rapi dan seperti fasih menganalisa permainan. Uniknya, dia adalah seorang pedagang mie ayam. Si mas yang tak saya tahu namanya, dengan lancar berbicara soal strategi, kinerja wasit, penonton, dan efeknya terhadap Piala Dunia sampai merembet ke sepakbola kita.
Saya diam-diam berpikir dalam hati, bagaimana kalau dia dihadirkan ke televisi. Mungkinkah SCTV mau menampungnya untuk menjadi komentator di siaran Piala Dunia nanti. Ah, itu terlalu utopia, lagipula dia belum tentu mau datang ke sana, karena unsur tak percaya diri, mungkin.
Kemampuan orang memang berbeda-beda. Tetapi orang jalanan pun ternyata punya banyak bakat terpendam. Suatu waktu di televisi, saya lihat ada anak jalanan yang membuat film kendati amatiran. Kemudian, sering pula sopir taksi bicara politik saat sedang mengantar penumpangnya.
Tapi menjadi komentator di televisi, saya yakini sulit walau tidak mustahil. Saya pernah sekali jadi komentator atau nara sumber topik sepakbola di sebuah radio mahasiswa dan itu saya akui cukup tricky. Penguasaan materi dan kemampuan berbicara di depan perangkat mikrofon menjadi sebuah kewajiban. Kadangkala, berbicara langsung tanpa ada perantara mikrofon atau kamera, bisa saja lancar. Namun jadi gagap begitu perangkat itu muncul di depan kita.
Salah satu contoh adalah saat orang di area umum diwawancarai reporter televisi soal masalah sosial. Tak banyak yang bisa berbicara dengan baik atau lancar dan justru terkesan grogi. Atau memang ini karena tak ada pelajaran pidato di kurikulum pendidikan kita, seperti halnya di negeri barat?