Wednesday, April 26, 2006
Milis
Selama ini, kita selalu mengeluhkan tamu tak diundang dalam bentuk spam di kota surat elektronik. Tapi, spam memang tak pandang bulu, siapapun dikirimi bak kawan akrab. Berbeda misalnya jika ikut jadi anggota milis. Di situ mungkin tak banyak spam, namun justru materi kadaluarsa yang sering masuk.

Belum lama ini, saya baru sadar banyak peserta milis mengirim posting yang isinya sudah pernah dikirim oleh peserta lain. Mungkin, judulnya saja yang berbeda. Biasanya, postingan itu berbentuk humor, anekdot, foto atau yang sejenis itu. Maksudnya mungkin baik, supaya orang tidak stres. Tapi kalau materinya berulang-ulang, orang yang tadinya tidak stres malah jadi tegang.

Saya coba amati, kenapa hal itu terjadi. Ternyata, si pengirim biasanya adalah anggota baru dan sistem milis tidak moderate. Seharusnya, bagi anggota baru, ada baiknya melihat arsip milis dulu sehingga akan banyak tahu posting apa saja yang sudah pernah dirilis di milis. Itu yang biasanya saya lakukan jika masuk milis baru. Sementara jika kita mengandalkan moderator, agak sulit karena kesibukan pribadinya, mungkin, dia tak bisa menyensor posting satu demi satu.

Generasi baru memang akan terus bermunculan selama kehidupan begulir. Anggota milis pun tentu akan terus patah hilang tumbuh berganti. Bukan saja para anggota baru yang masih berusia muda, namun ada kemungkinan pula anggota yang baru kenal milis atau email karena baru mengakrabkan diri dengan itu di kantornya atau komunitasnya. Internet kan bukan barang umum masyarakat kita yang homogen.

Satu hal lain yang mengganggu keberadaan saya di milis adalah banyaknya posting dan reply yang hanya berkaitan dengan beberapa anggota saja dan membahas topik terbatas atau kadang tak berhubungan dengan ideologi milis. Saya tak senang protes, namun ada pihak yang memberanikan diri untuk melakukannya. Tentu saja, solusinya adalah mereka dipersilahkan membahas topik mereka yang makin meluas via japri. Sementara saya cuma memindahkan metode penerimaan ke daily digest. Hemat...tak perlu lagi menghapus posting demi posting jika memang ada anggota yang membandel.
 
posted by Hedi @ 1:09 AM | Permalink | 3 comments
Kreatifitas Jurnalisme
Menjadi manusia memang harus kreatif, itu pula yang berlaku di bidang jurnalistik, baik untuk urusan penulisan maupun soal teknis liputan beserta cara meliput. Jurnalistik memang jadi jurusan di beberapa sekolah tinggi, tapi urusan kreatifitas, saya belum pernah ketemu sekolahnya.

Harian Kompas beruntung punya wartawan yang kreatif. Saya gak hapal nama wartawannya, tapi yang saya perhatikan adalah kejelian memanfaatkan narasumber. Mungkin awalnya si wartawan hanya berniat menggali satu topik dari satu narasumber. Namun di tengah jalan, justru bisa mendapat dua topik berbeda tanpa harus berpindah narasumber.

Dalam dua feature berbeda di edisi yang berbeda pula dalam bulan April, Kompas Minggu, menampilkan narasumber yang sama. Yang pertama, Kompas menulis soal tata ruang audio video berdasarkan pengalaman dan praktek narasumber yang pecinta seni, terutama musik. Tapi latar belakang si narasumber yang ternyata pemusik (baca: gitaris) membuat wartawannya perlu menulis topik kedua, yakni komunitas gitaris. Yang bersangkutan sendiri adalah pendiri situs gitaris.com.

Tapi meliput berita human interest tentu akan lebih mudah ketimbang mencari liputan soal politik, misalnya. Narasumber untuk masalah human interest tentu akan leluasa berbicara apa saja, entah itu nantinya berujung pada narsis atau tidak. Tapi kalau bicara dengan seorang tokoh politik untuk menggali berita "panas", tentu jangan harap ada narsism apalagi bila si narasumber terpojok dalam konotasi negatif.

Itu mungkin yang membuat saya paling senang membaca koran edisi Minggu, banyak tips, humor, hal-hal baru dan sebagainya. Namanya juga hari libur, masa mau dijejali oleh berita-berita yang bikin mumet kepala.
 
posted by Hedi @ 12:21 AM | Permalink | 1 comments
Tuesday, April 11, 2006
Premium + Air = Pertamax
Mungkin ada benarnya para ilmuwan sibuk terus mengembangkan teori dan praktek soal penggunaan bahan bakar mesin (BBM) altenatif. Masalah ini memang sensiftif baik untuk urusan mesin atau urusan perut pengendaranya. Lho, kenapa kok tiba-tiba ngomongin BBM?

Tadi pagi, saya ke bengkel untuk ganti oli motor. Alih-alih cuma untuk servis, eh si montir malah buat saya bingung.

"Mas,...," katanya sambil menggerakkan tangan memanggil saya.
"Ada apa?"
"Ini, bensin sampeyan kurang bagus. Soalnya gak kering begitu kena oksigen," ujarnya sambil mengucurkan bensin dari selang karburator ke tangannya.
"Wah...begitu ya," jawab saya sekenanya dan berterima kasih sudah diberi tahu.

Waktu saya lihat tangan si montir, memang masih tetap basah setelah sekian detik disiram bensin. Harusnya dalam kondisi normal, bensin yang sudah bercampur dengan oksigen atau udara akan cepat menguap dan kering. Tapi, masalah itu meninggalkan pertanyaan di dalam hati saya.

Selama ini, kita selalu disulitkan dengan masalah takaran bensin di pom yang tidak semestinya atau kasarnya dicurangi. Tangki diisi 5 atau 10 liter tapi begitu dilihat di jarum indikator kendaraan tidak sesuai. Kesimpulan saya, takaran di mesin pom sudah dimodifikasi seenak udel pemilik atau pengelolanya.

Tapi, baru sekarang saya punya kesimpulan bahwa pom juga punya cara lain untuk memainkan bisnisnya. Jika mereka tidak memainkan meteran mesin, maka mereka memainkan minyaknya. Dalam kasus saya tadi, pasti pom terakhir yang saya datangi mencampur premium dengan air. Tak tahu berapa kadar airnya.

Pantas saja, sebelum saya ke bengkel beberapa hari lalu, motor saya terasa gak beres di tarikan gasnya dalam RPM sedang. Saya pikir karburatornya cuma sekadar kotor, ternyata pom bensin yang punya ulah.

Solusinya, lebih baik ke pom yang memainkan takaran BBM daripada ke tempat yang memainkan mineralnya. Atau mungkin saya akan ganti pemakaian premium menjadi pertamax. Mungkin itu bisa lebih baik untuk keawetan mesin motor saya. Selain, selisih harga antara premium dengan pertamax tak terlalu jauh, saya bisa dapat kualitas yang lebih baik.

Hanya saja, selama ini, bisnis BBM adalah suatu bisnis yang menguntungkan. Mungkin salah satu binis yang paling besar margin keuntungannya. Tapi, entah kenapa pemilik atau pengelolanya masih saja melakukan praktek hanky panky. Dasar manusia, tak pernah puas...
 
posted by Hedi @ 11:57 PM | Permalink | 10 comments
Wednesday, April 05, 2006
Rayap Tak Pandang Bulu
Pernah punya masalah dengan rayap, serangga sangat kecil yang gemar makan kayu atau tanaman? Itu yang kini terjadi dengan istana negara di Jakarta. Karena sebagian besar bangunan digerogoti rayap, maka pemerintah akan melakukan renovasi bangunan. Bahkan untuk memperkuat analisa serangan rayap, pengelola istana sampai memanggil dua ahli dari IPB.

Dari berbagai artikel di media, rayap memang dikenal tak pandang bulu dalam melakukan agresi. Bahkan ahli dari IPB itu juga bingung bagaimana caranya rayap bisa menembus bangunan yang menggunakan pondasi berunsur beton. Bahkan berdasarkan penelitian, lebih dari 50 persen bangunan bertingkat di Jakarta juga tak luput dari kunjungan rayap.

Saya selalu memperhatikan kayu-kayu yang akan dipakai untuk mendirikan bangunan, lebih dulu diolesi cairan anti rayap. Saya tak tahu apa namanya. Tetapi, itu ternyata tak banyak membantu karena rayap seperti doyan dan tak menolak makan antipati itu.

Rumah saya juga tak pernah sepi dari serangan rayap. Sekarang ini, langit-langit rumah saya yang menggunakan triplek sudah jadi bahan baku gizi rayap. Padahal triplek itu sudah dilumuri cairan anti rayap sebelum dinaikkan. Saya kadang kesal karena serbuk-serbuk yang jatuh ke lantai jadi tak mengenakkan kaki saat berjalan tidak menggunakan alas. Alhasil, saya harus sering-sering menyapu lantai. Rayap juga menggerogoti tanaman di rumah saya.

Tapi saya punya pengalaman berharga untuk mengatasi rayap ketika membantu kawan membuat ruang studio musik beberapa tahun lalu. Diskusi serius dilakukan guna menentukan bahan kimia apa yang harus digunakan untuk melawan rayap. Akhirnya muncul ide untuk menggunakan formalin -- zat khusus yang biasa untuk mengawetkan mayat. Atau beberapa waktu lalu tenar karena digunakan pula untuk mengawetkan produk makanan seperti tahu, bakso, mie dan ikan laut.

Pertanyaan kami kala itu, siapa yang rela menyemprotkan formalin yang terkenal berbau menyengat hidung itu ke bahan dinding studio. Singkat kata, jadilah praktek penyemprotan dinding studio dengan formalin. Studio yang kami rancang menggunakan unsur peredam dari kayu multiplek, foam tempat telur, triplek dan yumen, sebuah material yang berserat kombinasi kayu dan semen. Sampai saat ini, saat saya tanya pada kawan, peredam itu masih awet meski tak pernah dilakukan penelitian mendalam apakah benar-benar sepi dari sentuhan rayap.

Dari pengalaman itu, saya sempat memberi saran agar material renovasi rumah saya dibelai dulu dengan formalin. Tapi ayah saya tak bergeming dan tetap melakukan praktek biasa untuk memerangi rayap. Hasilnya, ya tetap dimakan rayap.

Cuma, kembali soal rayap di istana presiden, ada pula "rayap" yang doyan laptop dan berbagai benda sekuler lainnya. Kalau rayap jenis itu, mungkin mutlak butuh formalin. Dasar rayap memang tak memandang bulu...
 
posted by Hedi @ 7:44 PM | Permalink | 7 comments
Jumpa Pers
Kemarin, kami di kantor ramai-ramai nonton highlight sepakbola Eropa di ESPN. Saat asyik-asyiknya nonton, ada pertanyaan muncul kenapa pelatih atau pemain atau klub harus melakukan jumpa pers. Tinggal, satu demi satu tersenyum dan tolah toleh mencari jawaban. Saya akhirnya memberanikan diri untuk menjawab.

Jumpa pers di lingkungan olahraga adalah suatu hal yang lumrah jika tak mau dibilang wajib di area profesionalisme. Yang jelas, jumpa pers bisa meluruskan kabar burung di luaran, menyebarkan informasi yang benar kepada publik, atau bisa juga menyampaikan kesan atau pujian yang diharapkan membuai mental lawan. Yang pasti, banyak kegunaannya, terutama dalam menghemat waktu.

Begitu selesai menjawab, penanya yang kebetulan punya jabatan "anak kantor" malah mengeluarkan pertanyaan lanjutan. Kenapa di (sepakbola) Indonesia jarang melakukan hajatan seperti itu. Terpaksa, pertanyaan itu tidak saya jawab. Bukan apa-apa, dalam kapasitas amatir mungkin saja bisa dimaklumi kalau jumpa pers jadi barang langka.

Tapi jumpa pers memang suatu hal yang masih agak asing di Indonesia. Mulai dari pemerintah sampai pihak swasta seperti alergi bila dengar kata pers. Beruntung, sedikit demi sedikit, lembaga kepresidenan mulai giat melakukan itu. Atau mereka enggan melakukan itu karena wartawannya? Praktek wartawan amplop kadang masih muncul kendati di bawah tangan. Artinya, jika penyelenggara, terutama swasta, memanggil pers tanpa ada kemungkinan memberi uang, bisa jadi pers tak akan datang. Atau datang, tetapi kemudian berita tak dimuat.

Apabila saya jadi pihak yang berurusan menyampaikan informasi kepada pers, saya lebih suka pakai sistem jumpa pers. Saya menyoroti masalah waktu. Lebih baik saya bekerja sekali dan cepat rampung dari pada terus menerus ditanyai wartawan demi wartawan untuk masalah yang sama.

Coba sekali-kali perhatikan acara gosip di tv. Pasti isi berita sama, tetapi artis akan bicara dalam kesempatan berbeda, tergantung rumah produksi atau stasiun televisinya. Kenapa artis itu tak mengadakan jumpa pers saja jika ada isu utama, sehingga tak membuang waktu hanya untuk memberi kabar yang sama kepada pers demi pers di waktu berbeda. Itu yang ditekankan oleh Wikipedia dalam penjelasannya.
 
posted by Hedi @ 5:59 PM | Permalink | 4 comments