Wednesday, August 30, 2006
Sekolah Saja, Jangan Main Sinetron
Wacana pelarangan anak sekolah untuk bekerja di jalur hiburan kini tengah jadi isu hangat di Jakarta. Larangan itu kabarnya akan dijadikan Perda oleh pemerintah kota Jakarta. Tak pelak, mereka yang berkepentingan, terutama artis muda dan orang tuanya, menolak tegas.

Secara garis besar, saya setuju adanya pelarangan walau pesimis. Tapi seharusnya bukan hanya di sektor hiburan, tapi juga industri yang lain. Di Indonesia, sudah lama dan banyak terjadi anak-anak di bawah usia kerja yang justru banting tulang mencari penghasilan. Alasannya bisa jadi sangat klasik, kesulitan ekonomi.

Di televisi kita, banyak sekali anak-anak kecil yang tampil. Sebut saja nama-nama yang kini sudah dewasa seperti Agnes Monica atau Joshua.

Kembali ke usulan perda, sejumlah artis dan orangtuanya sudah menyatakan protes. Misalnya Dhea Imut. Dia bilang percuma ada pelajaran kesenian di sekolah, kalau anak sekolah tak boleh main sinetron, nyanyi atau sejenisnya. Sebuah pernyataan balik yang lucu menurut saya.

Jika untuk menunjukkan ekspresi berkesenian, tak selalu harus di sinetron atau musik (industri). Jika tertarik seni peran, masih ada sanggar atau teater. Kalau berminat menyanyi, ya menyanyi saja di pesta sekolah atau panggung Agustusan.

Yang dimaksud dalam pelarangan ini adalah yang bentuknya berkala. Sinetron yang disiarkan setiap hari, jadwal shooting-nya pun demikian (kejar tayang). Ada tetangga saya yang masih remaja juga sudah jadi artis sinetron dan dalam seminggu, dia hanya masuk sekolah maksimal dua-tiga kali!!

Buruknya anak-anak yang tampil di sinetron hampir setiap hari, mengandung dua hal. Pertama, secara usia dan mental belum waktunya untuk bekerja meski di dunia seni. Kedua, dia menyerobot porsi orang yang lebih dewasa dan lebih pantas bekerja. Kadangkala, penghasilan si anak bekerja justru lebih banyak dinikmati orang tuanya.

Bagaimana dengan peran anak-anak di sebuah film. Sinetron berseri memang menghasilkan dilema. Jika tema sebuah keluarga harus menghadirkan anak-anak akan sangat repot jadinya. Di Hollywood pun ada porsi untuk anak-anak, tapi sifatnya insidensial. Salah satu contoh penggunaan anak-anak adalah di film layar lebar Hollywood, misalnya si bintang baru yang kini sudah dewasa, Lindsay Lohan. Tapi sekali lagi, jumlahnya tak menjamur seperti di sini. Atau dengan kata lain, tak terlihat ada kesan eksploitasi.

Namun untuk si artis muda dan orang tuanya juga mungkin tak perlu kebakaran jenggot pula. Berharap saja, perda ini akan jadi macan ompong. Seperti halnya perda larangan merokok yang tak berjalan sebagaimana mestinya. Konon, pembuatan perda hanya dijadikan modus untuk cari duit, urusan pelaksanaannya berhasil atau tidak, itu urusan belakangan.

 
posted by Hedi @ 4:00 AM | Permalink | 19 comments
Wednesday, August 23, 2006
Sweet 17
Entah kenapa perhatian saya bulan ini justru banyak tersedot televisi. Bukan masalah menonton, sebab saya jarang melakukannya, tapi karena hal lain. Salah satunya, strategi mereka menjaring pemirsa.

Kompetisi yang kian ketat membuat pengelola tv memang harus kerja keras mencari strategi perang. RCTI, stasiun swasta pertama, memanfaatkan momentum ulang tahun mereka untuk merebut pangsa pasar terdepan. Dibungkus dengan balutan "Sweet Seventeen", RCTI mengadakan pesta ulang tahun besar-besaran.

Semua acara ulang tahun mereka dikemas secara live dan rekaman (taping) dengan megah dan besar-besaran, persis abg masuk masa puber. Coba lihat saja daftar acaranya di web mereka.

Tapi, yang paling menarik perhatian saya dari sekian banyak acara itu adalah lomba nonton siaran RCTI selama 17 jam sambil berdiri dan relay-langsung acara puncak ke 164 radio seantero negeri !!!

Lomba nonton itu, saya tak mungkin ikut. Tak ada waktu, stamina tak mendukung, tak (senang) nonton tv terlalu lama dan paling penting tak punya niat. Urusan radio itu juga (mungkin) tak bakal saya ikuti. Namun, biar bagaimanapun, ide ini unik. Keduanya digunakan untuk mencapai rekor MURI. Jadi sekali dayung, dua atau tiga pulau terlampaui. Ya dapat perhatian pemirsa, pengiklan dan menorehkan rekor.

Tapi, ini budaya pop bahwa setiap hari jadi ke-17 lebih banyak dirayakan secara istimewa. Para remaja terbiasa menganggap sweet seventeen adalah hari sakral mereka. Namun jangan lupa bahwa memasuki usia ke-17 juga akan mendapat tuntutan agar makin dewasa, baik sikap dan pemikiran. Dalam hal ini RCTI, diharapkan bakal memiliki acara atau program yang lebih sehat dan mampu memberi pencerahan pemirsanya. Ya, kita tunggu saja.

Ngomong-ngomong, anda bikin acara apa waktu ultah 17 dulu?


 
posted by Hedi @ 6:12 PM | Permalink | 22 comments
Tuesday, August 22, 2006
Wasit Juga Manusia
Pulang dari kantor hari Minggu pagi lalu, saya diberondong pertanyaan soal sepakbola oleh ayah saya. Saya tak terkejut, apalagi marah. Ayah saya memang (sepertinya) terbiasa menunggu saya pulang ke rumah, untuk kemudian bertanya macam-macam.

Ayah tanya soal Liverpool yang mendapat hadiah pinalti sewaktu lawan Sheffield United, padahal dari tayangan lambat televisi, Steven Gerrard tidak terlanggar secara nyata. Awalnya saya cuma jawab seadanya. Tapi malamnya, beliau tanya lagi yang lebih serius soal hal sama. Maklum, kali ini tim favoritnya yang main, Chelsea, yang tidak dapat pinalti. Mau tak mau, saya pun menjawab rasa penasarannya.

Keputusan wasit untuk memberi hukuman dalam sebuah pertandingan sepakbola, sedikit atau banyak acapkali tidak memuaskan banyak pihak yang berkepentingan. Sebuah adegan keras, misalnya, tak melulu (harus) disemprit wasit. Kriteria sikap pemain tertentu di lapangan untuk disebut pelanggaran, minimal harus memenuhi salah satu di bawah ini :
  • Arah permainan atau bola jadi berubah total setelah satu kejadian dan berakibat krusial atau fatal
  • Salah satu tim merasa dirugikan secara absolut dan tim lainnya (pelaku pelanggaran) mendapat untung
  • Melanggar prinsip dasar fairplay (pasti!!)
Untuk kasus Sheffield vs Liverpool kemarin, seharusnya memang tidak pinalti karena Gerrard sudah berusaha menghindari tekel. Sang kapten jatuh karena memang kehilangan keseimbangan akibat hindaran itu. Tapi bagi wasit Rob Styles lain urusan. Menurutnya, Gerrard sudah dirugikan saat sedang menggiring bola, meskipun tak ada kontak tekel. Minimal ada niat dari lawan untuk merugikan Gerrard.

Suatu niat termasuk unsur kesengajaan dalam sebuah pertandingan. Itu sebuah kriteria pasti dari setiap wasit saat akan memberi hukuman kartu kuning/merah kepada pemain.
  • Nyata-nyata sengaja melakukan pelanggaran keras
  • Sudah tiga kali melakukan pelanggaran yang eskalasinya meningkat.
  • Membahayakan fisik lawan
  • Menodai prinsip dasar fairpaly (lagi, pasti!!)
Nah, dalam kasus Chelsea yang tidak dapat pinalti saat pemain Manchester City, Richard Dunne, beberapa kali menyentuh bola dengan tangannya, situasinya memang lain. Dunne tidak sekalipun sengaja melakukan itu. Jika tak ada tangannya, bola tetap akan terhadang dada atau pahanya. Itu artinya, ada tangan atau tidak, arah bola dan permainan tak akan berubah signifikan.

Kemudian ada pula strategi kepemimpinan wasit yang namanya, strategi 10 menit. Itu dijalankan supaya pertandingan berjalan menarik, tidak monoton. Piala Dunia 2006 menggunakan strategi tersebut. Artinya jika pertandingan berjalan tidak fair play, maka wasit akan menerapkan strategi keras selama 10 menit guna meredamnya. Setelah itu kembali melunak dan akan kembali keras dalam durasi yang sama jika situasi permainan kembali berubah tidak fair play.

Jangan lupa, wasit juga manusia biasa, bukan motor :p

Adakalanya, pandangan wasit terhalang barisan pemain. Kemudian karena dia manusia, tentu saja juga punya rasa lelah. Masa, cuma pemain saja yang boleh capek. Atau juga terkadang blank sesaat, hilang fokus sekian detik, meski kemudian akibatnya fatal bagi suatu tim.

Ayah saya masih belum puas. Beliau tanya lagi, bagaimana dengan sebuah tim yang kelihatan dicurangi wasit. Ada kalanya, itu sebuah nasib. Tapi yang jelas, usaha dong untuk mencetak gol dengan cara yang tak mungkin dianulir atau digagalkan wasit.

Untung ayah kemudian tak berlanjut tanya soal sepakbola Indonesia. Kalau itu beliau sudah paham setelah sering saya jelaskan. Selain itu, saya juga sudah malas untuk bicara soal sepakbola dalam negeri. Banyak anomali :(

 
posted by Hedi @ 7:33 PM | Permalink | 9 comments
Monday, August 21, 2006
Siaran Langsung Pernikahan
Banyak orang boleh sebel dengan acara tv yang judulnya, infotainment. Tapi tak sedikit pula yang gemar melotot di depan tv ketika acara itu mengudara. Dan infotainment ternyata hot juga di Malaysia.

Gara-garanya adalah penyanyi berwajah melankolis, Siti Nurhaliza, yang akan menikah akhir pekan nanti. Saya tak menggubris terlalu banyak soal itu, kecuali soal resepsi pernikahannya yang akan disiarkan langsung di TV3 Malaysia dan konon, Trans TV juga siap me-relay langsung.

Mau tak mau, saya jadi mengakui bahwa dia (mungkin) sudah begitu memesona sehingga pernikahannya dianggap penting untuk diliput langsung televisi. Kalau sudah begini, Malaysia boleh jadi lebih unggul dibanding infotainment Indonesia.

Seingat otak saya, di sini belum pernah ada, artis papan atas sekalipun yang pernikahannya diliput langsung televisi. Waktu saya masih kecil, saya ingat ada siaran langsung pernikahan Pangeran Inggris, Charles, dengan Diana Spencer yang kini sudah almarhumah.

Jadi, apakah Siti sudah punya kelas dan derajat yang sama dengan Charles-Diana sehingga hajatannya pantas jadi acara tv. Atau apa karena calon suami Siti yang kebetulan bangsawan. Entahlah, hanya pengelola tv yang bisa menjawabnya.

Sepertinya batasan soal barang dagangan atau bukan sudah semakin tipis, termasuk prosesi pernikahan yang katanya sakral itu. Jika Malaysia sudah, apakah infotainment sini nanti juga akan melakukan hal yang sama?

 
posted by Hedi @ 3:06 PM | Permalink | 14 comments
Saturday, August 19, 2006
Trans TV dan TV7
Perayaan HUT RI ke-61 kemarin digunakan oleh dua stasiun tv nasional untuk menunjukkan sinerginya. Untuk pertama kalinya, Trans TV dan TV7 melakukan siaran bersama pasca penggabungan saham keduanya.

Entah apakah pemilihan siaran bersama di saat HUT RI didasari dengan kesengajaan karena momen itu dianggap pas. Acara yang disiarkan bersama itu adalah konser kemerdekaan.

Tetapi, sinergi Trans dengan TV7 memang menarik. Kedua stasiun yang umurnya masih cukup muda dibanding televisi nasional yang lain, itu justru sudah punya acara-acara kesayangan pemirsa. Tujuan penggabungan adalah sangat jelas. Menjaga pasar dan sekaligus mempersempit ruang gerak pesaing.

Perhitungan peta televisi swasta di Indonesia memang cepat berubah. Pertama, RCTI bergabung dengan TPI dan Global TV dalam satu wadah; Media Nusantara Citra (MNC). Kedua, ANTV bikin geger setelah raja media dunia, Rupert Murdoch, membeli sebagian saham dan menyemprotkan logo Star TV dalam logo baru ANTV.

Mungkin karena dua situasi itu, Trans dan TV7 sepakat melakukan penggabungan. Dalam jumpa pers awal Agustus lalu, kedua perusahaan mengatakan ini sebagai langkah peningkatan daya saing mereka terhadap sembilan stasiun lainnya.

Tentu, masing-masing akan tetap berkonsentrasi di pakem acaranya. TV7 dikatakan bakal tetap mengurus program olahraga dan hiburan, sementara Trans tetap menjalankan hiburan dan gaya hidup. Tak tahu mengapa TV7 tak menggarap serius program berita pula di mana mereka punya kekuatan dalam sektor itu.

Lebih lanjut, pemilik Trans, Chairul Tanjung, mengatakan pihaknya dan juga TV7 akan tetap menayangkan program yang bersifat mendidik dan sehat bagi pemirsa. Tak jelas, apakah program esek-esek di Trans yang tayang setiap malam itu juga bisa dibilang sehat, meski mereka punya banyak acara lain yang berkualitas pula.

 
posted by Hedi @ 12:09 AM | Permalink | 9 comments
Tuesday, August 15, 2006
Dirgahayu Indonesia
Indonesia berumur 61 tahun. Tapi selama itu, banyak orang bertanya apa benar sudah merdeka. Orang boleh dan berhak mengajukan pertanyaan seperti itu karena masih banyak kemalangan yang diterima oleh warganya.

Wacana dan diskusi mengenai arti merdeka di negeri ini tentu saja bisa sangat panjang, entah kapan dan di mana berakhirnya. Dalam bentuk apa masyarakat ingin merdeka, apakah hanya dalam bentuk menjalani hidup, katakanlah mencari nafkah sebebas-bebasnya. Apakah ingin merdeka untuk mengeluarkan pendapat, melakukan demonstrasi tanpa memedulikan norma dan rambu umum nan universal. Apakah merdeka berarti tak ada tekanan atau penjajahan model baru dalam berbagai bentuk, baik ekonomi maupun hukum, baik di dalam negeri maupun dari luar negeri.

Kemudian akan ada pula tanggapan balik untuk kita. Apa yang sudah kita lakukan untuk kemerdekaan, untuk kemajuan negeri ini, untuk bla...bla...bla... Apakah kita adalah pembayar pajak yang taat, walaupun uangnya digunakan untuk foya-foya individu maupun golongan tertentu. Apakah kita orang yang taat hukum demi ketertiban bersama. Sungguh refleksi yang sangat panjang jika mengingat kewajiban dan hak sebagai warga negara atau sebagai pengelola negara ini.

Apapun, dengan berbagai kekurangan, saya masih tetap bersyukur negara ini bisa berumur panjang setelah lepas dari penjajahan (kuno). Faktanya, saya lahir di sini, berdarah Indonesia, pemegang paspor Indonesia, lebih banyak berbicara dan mendengar bahasa Indonesia. Jadi, tak mungkin melemparkan kebencian untuk merah putih. Lambang negara ini sudah compang camping dengan berbagai bentuk tindakan. Saya tak mau lagi menambahnya, meski belum tentu juga bisa merapikannya.

Dirgahayu Indonesia, semoga kemajuan dan kemerdekaan hakiki bukan utopi, bukan mimpi, bukan khayalan.


 
posted by Hedi @ 11:06 PM | Permalink | 9 comments
Saturday, August 12, 2006
Ngumpul Ala K3
Falsafah Jawa mengatakan makan atau pun tidak makan, yang penting bisa kumpul. Sebuah falsafah yang mengutamakan kekeluargaan dan kekerabatan yang penuh keakraban.

Demikian pula dengan masalah tempat untuk berkumpul. Bisa di mana saja, sejauh masih layak dan tak kotor atau jorok. Tapi apa benar, apapun tempatnya, kita masih bisa kumpul dalam suasana enak dan nyaman.

Saya merasakan itu sewaktu datang ke sebuah tempat "upacara" khusus K3 (Kelompok Kebon Kacang). Itu lho, kelompoknya mas Bahtiar dan Priyayi "Ipoul" Bangsari yang menclok di rumah kos sekitar Tanah Abang.

Mampir saja ke blog mereka masing-masing, dipastikan ada woro-woro kumpul bloggers, entah dengan tujuan mau ngopi, nyedot air teh, ngoceh atau sekadar setor wajah, tak ada masalah. Jadwal dibuat pasti, setiap Jumat malam jam delapan. Tempatnya di trotoar depan Plaza Indonesia yang ada air muncratnya.

Sewaktu saya mampir ke sana, hanya ada Bahtiar dan teman seperjuangannya di kampus UGM yang sekarang jadi instruktur web design. Mas Ipoul dan Mas Anasagung tak kelihatan karena masih sibuk dengan urusan kantor.

Menurut Bahtiar, memang belum tentu bisa komplet personilnya. Lagi pula, kumpul-kumpul di sana juga bukan pekerjaan wajib, mau datang syukur, tidak juga tak ada masalah. Yang pasti, ini tempat cuci mata anggota K3. Di tempat ini, Bahtiar berharap akan dapat ide sebuah tempat baru yang mungkin lebih baik.

Saya hanya satu jam ada di sana. Tapi selama itu, saya merasa enjoy dan bisa menikmati suasana. Hanya saja, tempat seperti itu memang rasanya tak cocok bagi kaum wanita. Kecuali, dia memang cuek atau tomboy dengan jiwa petualangan yang kental atau memang sesuka hati saja mau kumpul di manapun.

Jadi, ada yang mau nyumbang tempat?
 
posted by Hedi @ 10:55 PM | Permalink | 19 comments
Friday, August 04, 2006
Kasus Israel: Malangnya Dunia
Aada rasa sedih menyaksikan gambar di sebelah. Sebuah ilustrasi yang diterbitkan oleh media Inggris, The Independent ini, menggambarkan dukungan untuk gencatan senjata antara Israel dengan pejuang Lebanon, Hizbulah. Gambar terbit di halaman muka secara penuh pada edisi 22 Juli (atau 21 Juli?), tepat di saat Israel mulai menggempur tetangganya itu.

Tragis memang. Gambar itu memperlihatkan bahwa hampir semua negara di dunia ini mendukung adanya aksi gencatan senjata dan hanya tiga yang menentang. Tentu saja, tiga adalah sekutu.

Namun, mereka yang hanya bertiga justru menang atau setidaknya sedang di atas angin. Sementara mereka yang banyak, dengan berbagai alasan, latar belakang dan kepentingan terpaksa hanya mengutuk dan mengecam serta kemudian mewakilkan suaranya kepada PBB. Sayangnya, PBB pun kemudian seperti badan yang lemah syahwat, tak bisa apa-apa.

Entah, kenapa sulit sekali mengalahkan Israel dan dua sekutunya. Sebuah potret kemalangan dunia dan peradaban manusia. Semoga kekuatan doa bisa membalikkan itu semua.

*Dilhami dari entry di Kottke dan Dirgaa.


 
posted by Hedi @ 1:21 AM | Permalink | 22 comments
Thursday, August 03, 2006
Gemuk Pilih Langsing?
Ssebuah penelitian terbaru mengatakan orang yang memiliki berat badan lebih subur akan merasa tertarik kepada lawan jenisnya yang lebih langsing. Demikian pula sebaliknya. Tapi kok saya merasa tidak setuju.

Saya yang kering kerontang ini jelas tak akan memilih wanita yang punya berat badan boros, meskipun juga belum tentu menyukai yang super langsing seperti si pesohor Paris Hilton itu, misalnya. Alasannya bisa jadi tak sedap dipandang mata dan pasti tak lezat dimakan, :P.

Dalam artikel penelitian itu juga disebutkan adanya ketidakyakinan berapa besar berat badan akan memengaruhi daya tarik terhadap lawan jenis.

Although it is not clear exactly how hunger exerts an influence on attraction, past research suggests social, cultural and psychological factors are involved.


Daya tarik terhadap lawan jenis, apalagi kemudian untuk lanjut ke jenjang pernikahan, akan ditentukan oleh berbagai unsur. Salah satu yang kemudian menjadi pertimbangan adalah keturunan. Jika memilih yang serupa, khawatir nanti keturunannya pun serupa pula. Belum lagi di negara ini kadang ada pula pertimbangan asal daerah dan agama, dua hal krusial untuk memperoleh restu orang tua.

Kalau untuk memilih sah-sah saja, tapi jika sudah berniat serius, bisa jadi akan lain urusannya. Bagaimana dengan anda, pilih yang mana?

 
posted by Hedi @ 1:19 AM | Permalink | 18 comments