Sunday, May 14, 2006
Menikmati Sound Tipis

Kala menonton acara drummer tiga generasi secara live beberapa waktu lalu, saya sebenarnya puas dengan kualitas sound yang muncul. Tapi jadi kecewa sewaktu nonton via TV7 karena outputnya cukup minim, terutama untuk si drummer kecil. Namun lalu juga maklum, karena ini hal normal di bidang musik kita.

Beberapa hasil musik Indonesia memang cukup tipis, berbeda jika kita dengar dari amrik, meski ada pula yang tipis. Coba dengarkan kualitas rekaman grup /Rif. Musik mereka beraliran heavy-rock, namun terasa aneh di kuping karena soundnya yang tipis. Padahal kalau sound mereka tebal, saya yakin lagu-lagu mereka sangat keras dan menghentak.

Tak hanya /Rif yang begitu. Grup GIGI yang punya musisi sekaliber Dewa Budjana pun hasil rekamannya tak terlalu tebal, kecuali sound gitar dia. Hal yang sama menimpa grup EDANE yang hanya tebal di sound gitar Eet Syahranie. Dewa yang jadi grup paling wahid di sini pun demikian. Jangan tanya lagi dengan Peter Pan atau Radja atau grup atau musisi seumur jagung lainnya.

Namun tak semua tipis karena ada pula yang punya kualitas sound cukup baik. Biasanya, dari dan oleh mereka yang sudah lama di dunia rekaman. GOD BLess, Iwan Fals (terutama saat berkolaborasi dengan arranger Billy J. Budiarjo di album Orang Gila yang sudah almarhum), atau produk-produk pemusik jazz kita. Hasil olah sound mereka tak berbeda jauh dengan milik The Corrs atau Avril Lavigne. Tapi jangan bandingkan dengan milik Metallica, Sting, Mariah Carey, atau Van Halen yang sangat tebal, bahkan termasuk di live album.

Sebenarnya, usaha untuk menghasilkan sound yang tebal sudah banyak dilakukan oleh musisi, arranger atau sound engineer dalam negeri. Bahkan peralatan yang dipakai di sini sangat canggih dan kerap mengejutkan musisi luar negeri. Saya jadi ingat bagaimana grup trash metal seperti Sepultura bisa terkaget-kaget menyaksikan koleksi alat musik dan rekaman Setiawan Djodi. Tapi, hasil kurang maksimal tetap saja diraih. Edane selalu menambah sendiri jam rekaman mereka sewaktu masih dibawah label Aquarius. Namun karena masih tipis, master rekaman mereka justru dianggap demo tape saat dibawa ke amrik.

Ini memang berhubungan dengan sound mixing dan mastering, tak bisa dipisahkan. Menurut beberapa operator rekaman dan mixing tertentu, kesalahan ada di pihak mastering. Klaim mereka, sound yang sudah dimixing, terkadang dimixing kembali saat memasuki proses mastering. Menurut answers.com, mastering memang hanya sebuah proses transfer dari pita suara ke produk akhir, piringan digital. Kalaupun ada yang harus disesuaikan, apabila hasil mixing masih belum balanced.

When a mix submitted for mastering is unbalanced (e.g. a vocal is too low in level or a bass too boomy), the mastering engineer can quickly get caught up in a series of audio compromises since everything is already "soup" and mixed together. If the vocal level is brought up by isolating it with one band of a multi-band processor, a guitar part in the same frequency range will be brought up as well. Alternatively, if the boomy bass range is EQ'ed or compressed via the multi-band processor, the bass drum will also be affected. The more the submitted mix has presentation balance problems, the more compromises arise.


In either case, this type of balancing is not "mixing while mastering" but staying true to the artists original mix intent while simultaneously making the album translate well to a wide variety of playback systems (home, car, boombox, porta-pod, etc), have sonic and audio consistency track to track as well as ensuring the kind of overall professional sonic presentation demanded by both the artist and consumer.


Namun, untuk di Indonesia memang lebih kompleks. Ini berurusan pula dengan selera umum kuping pendengar yang heterogen. Menurut seorang kawan saya yang berprofesi sebagai musisi bayaran di studio rekaman, musik Indonesia yang penting ada unsur classical brass (rithym), piano, melodi gitar untuk interlude dan mendayu. Pasti laris, katanya. Tak penting soundnya tipis atau tebal. Mungkin saja pendapatnya benar karena yang saya tahu, sound engineer kita umumnya adalah lulusan amrik atau eropa. Jadi harusnya bisa buat kualitas sound yang bagus. Lha, yang kualitas soundnya biasa-biasa saja dan punya lagu enak didengar, tetap laku jutaan copy, jadi untuk apa bikin yang ideal.

Tapi kalau musisi kita mengadakan konser (solo) alias tidak keroyokan, kualitas sound yang keluar cukup baik. Mulai dari drums, guitar, bass sampai vokal, keluar dengan hasil seimbang (balanced). Yang repot justru jika kemudian konsernya disiarkan televisi, hasilnya jadi kurang memuaskan. Ini karena berhubungan dengan mixing dari dua mixer, satu adalah milik band dan kedua milik operator acara tv. Namun, seperti juga hasil rekaman, penonton tv mungkin sudah terhibur dengan mendengar kualitas sound sekadarnya plus melihat bintangnya sekaligus menikmati lagunya.

Jadi, urusan sound bisa jadi mirip dengan martabak. Biarpun tipis, kalau sudah "lapar" dan "kepingin", ya dihajar saja.

 
posted by Hedi @ 1:19 AM | Permalink |


5 Comments:


At 8:26 PM, Blogger Eddy Fahmi

wah nggak dong aku cak... sound tipis/tebel iku koyok opo toh? lek jaket tipis/tebel paham aku, haqqul yakiinnn... :D

 

At 7:45 AM, Anonymous Anonymous

dompet tebel ... ngerti aku :)

 

At 3:35 PM, Anonymous Anonymous

Masalahnya mungkin memang di mastering. Memang benar, studio yang punya kapasitas untuk itu saja sangat terbatas. Dewa saja, beberapa tahun lalu, melakukan proses itu di Australia.

Btw, tempo hari ada Setiawan Djody di MTV Rumah Gue. Koleksi alat-alat beliau memang outstanding sekali.

 

At 2:40 AM, Anonymous Anonymous

Tipis ... atau terlalu BRIGHT ?

 

At 1:49 AM, Anonymous Anonymous

Wah2 jgn salahin mastering-nya bung !!! mau mastering dimana juga, klo rekamannya tipis ya tipis aja hasilnya. Semua kembali ke SOURCE-nya. Rekamannya ... pakai apa dan sama siapa :)

GARBAGE IN = GARBAGE OUT

Salam ...