Thursday, June 29, 2006
Nasib di Tangan Secuil Angka
Malang benar anak-anak sekolah masa kini. Sudah bayaran sekolah mahal, harga buku selangit, diganggu narkoba dan tawuran, sekarang pun harus menjalani kelinci percobaan kebijakan baru soal kelulusan.

Ini babak baru. Bagaimana anak-anak sekolah, terutama SMP dan SMA, dengan dukungan orang tua, LSM dan pengamat, melakukan class action kepada pemerintah karena dianggap salah merancang kebijakan penentuan lulus.

Pemerintah memang aneh. Mengapa senang sekali mengubah hal-hal kecil yang dulu sudah mapan dan biasa dijalani selama bertahun-tahun. Dulu, kelulusan siswa sekolah ditentukan oleh nilai kumulatif sejak semester pertama hingga enam. Sementara Nilai Ebtanas Murni (NEM) hanya sebatas untuk prasyarat masuk ke jenjang berikutnya.

Tapi sekarang, seorang siswa akan ditetapkan lulus jika bisa mencapai nilai minimal 4,25 dalam tiga pelajaran yang terdapat pada Ujian Nasional (UN) dan nilai rata-rata 4,50. Jika salah satu dari tiga itu nilainya tidak mencapai kuota minimal, silahkan mengulang tahun depan.

Kalau begini, sia-sia saja murid belajar banyak pelajaran selama tiga tahun, tetapi kelulusannya hanya ditentukan di tiga pelajaran; matematika/ekonomi, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris/asing. Secara logika, harusnya tak ada masalah karena cuma tiga yang diuji, tidak seluruhnya. Tapi juga tak bisa hanya itu saja untuk menentukan kelulusan siswa, tidak fair. Kalau demikian, lebih baik jarang masuk ke sekolah, tapi pastikan dapat nilai di atas 4,5 untuk setiap pelajaran di UN.

Kasihan sekali bagi mereka yang tidak lulus dan tak sedikit yang merupakan murid teladan, atau katakanlah, dikenal cerdas di sekolahnya. Sekarang ini banyak siswa depresi, sebagian mencoba bunuh diri, karena tak kuat menerima realita tak lulus padahal dia merupakan siswa favorit dan telah diterima di kampus via proses penyaringan bakat dan kemampuan.

Apapun, polemik ini tentu terkait dengan Depdiknas yang tidak tepat mengeluarkan standarisasi kelulusan sekolah. Di sisi lain, ini juga bisa menggambarkan kemampuan rendah siswa kita, jika tak mau dibilang buruk, dalam pelajaran tertentu. Pasti tak semuanya salah mutlak. Semua saling terkait.

Penetapan nilai 4,25 sebagai batas lulus yang dilakukan pemerintah plus persetujuan DPR harusnya sudah melalui proses studi kelayakan. Masih untung 4,25 bukan nilai 6.

Tetapi bagi para guru, ini pun ditentang. Masalahnya, yang menguji hasil ujian bukan guru tetapi Depdiknas. Tapi guru juga sedikitnya punya tanggung jawab atas kemampuan siswanya untuk memenuhi kuota nilai itu. Nasib guru yang tak nyaman sudah banyak orang tahu, tapi bukan berarti mengajar dengan baik harus diabaikan. Jika sudah mengajar dengan baik, maka diuji siapapun tak akan gentar. Murid pun demikian, belajar dengan tekun adalah tugas dasar siswa bahkan mahasiswa sekalipun.

Waktu kuliah di fakultas ekonomi, saya pernah ngendon di kelas ekonomi mikro sampai dua semester. Bukan apa-apa, itu pasti karena kurang tekun belajar. Alhasil, belajar lebih giat ditambah dengan tekad untuk mengubah titik nasib yang sementara ada di sebuah angka (huruf), maka kelas itu berhasil saya lewati dengan sukses.

Buat para pelajar, perasaan tidak karuan saat mengetahui tidak lulus memang menyakitkan. Saya paham benar dan pernah merasakan meski dalam strata yang berbeda. Tapi hidup kan harus berlanjut. Kegagalan hanyalah keberhasilan yang tertunda. Tinggal sekarang siapa yang akan mengubah kegagalan itu jika bukan kita sendiri dengan restu Sang Kuasa.


 
posted by Hedi @ 3:26 PM | Permalink |


6 Comments:


At 7:03 PM, Anonymous Anonymous

betul mas, kenapa pemerintah suka gonta-ganti kebijakan yang ngga jelas ya?

 

At 11:15 PM, Anonymous Anonymous

---- jangan sampai sekolah menghambat pendidikan saya ----
mark twain

 

At 10:08 AM, Blogger mpokb

materi pelajarannya memang susah. kurikulum cenderung memberatkan murid, buang waktu dan uang. contohnya, mata kuliah di semester pertama perguruan tinggi banyak yang cuma mengulang pelajaran di SMA. yg lebih parah, anak usia prasekolah terpaksa harus bisa baca tulis untuk bisa sekolah. jadinya karbitan. anak2 pintar yg robotik. mengerikan.

 

At 3:55 PM, Blogger Linda

wkt th 98 hal ini sudah diberlakukan. th 98 adl th dimulainya anak² yg tdk lulus. alhamdulillah saya bisa lulus. dan banyak juga yg gak lulus. miris juga dengernya
btw, jodohnya dah dijemput blom??? jgn cuma ditunggu aja ;)
semoga segera ketemu jodohnya ya

 

At 10:46 AM, Blogger Balung Gundul

ah, sekolah itu candu....

 

At 10:10 AM, Anonymous Anonymous

anaku suk, iso sekolah ra yooo .... :(