Aburizal "Ical" Bakrie, sang menteri yang kerjanya mengurus kesejahteraan masyarakat ini, berusaha keras menolak bahwa dirinya punya harta sebanyak klaim majalah Forbes. Menurut majalah terkemuka itu, Ical memiliki harta kekayaan sebesar 1,2 miliar dollar dan berpredikat terkaya nomer enam di negeri ini.
Apa yang dilakukan Ical dalam menganggapi kabar itu adalah praktik umum. Dulu, Soeharto juga demikian. Bahkan mantan penguasa Indonesia itu selalu tertawa jika dianggap kaya raya. Beberapa konglomerat yang namanya selalu masuk daftar kaya itu juga kerap membantah.
Lalu, kalau ada penolakan berarti Forbes bohong dong?. Tidak mesti. Forbes bukanlah majalah kelas teri. Majalah asal Amerika Serikat ini memiliki daftar pengiklan yang berjibun atau punya waiting list. Tentu dengan sejumlah pengiklan dan investor itu, bagaimana mungkin Forbes bikin berita bohong. Logikanya, mereka harus bertanggung jawab terhadap pelanggannya yang orang-orang terpandang dan pengiklan. Kalau mereka bohong, pelanggan dan pengiklan itu akan lari. "Untuk apa saya dapat berita sampah?"
Saya tak tahu bagaimana dan dengan metode apa Forbes memengumpulkan data orang kaya di berbagai tempat tersebut. Tapi dalam situasi umum, setiap orang punya kesempatan untuk menjawab atau menggugat jika namanya digunakan dalam bentuk yang tidak/kurang nyaman. Hal ini berlaku pula untuk menanggapi berita media.
Jika Ical atau siapapun tidak senang dengan berita Forbes itu, atau menilainya bohong, mengapa tidak melakukan hak jawab langsung. Bisa juga dengan mengajukan tuntutan, misalnya. Selama ini yang dilakukan orang-orang dalam daftar hanya membuat komentar retorika. "Saya senang jika kekayaan saya sebanyak itu."
Apabila tak ada bantahan resmi, maka bukan Forbes yang bohong, tetapi orang-orang itu sendiri. Kalau anda jadi orang yang diberitakan Forbes, apa yang akan anda lakukan? Mengakui atau berbohong?