Tuesday, March 14, 2006
Security Kampungan
Selesai memandikan motor ke jasa cuci umum hari Senin kemarin, saya melanjutkan perjalanan ke rumah kawan lama di daerah Condet, Jakarta Timur. Kawan saya ini dinilai banyak kolega sebagai pusat informasi, orangnya percaya diri dan punya idealisme tinggi. Cerita kesana kemari, saya dapat kejutan bahwa dia terlibat baku hantam dengan petugas keamanan festival musik Java Jazz. Lho?

Kawan saya itu pergi nonton dengan adik perempuannya di hari terakhir festival (Minggu, 5 Maret 2006). Karena ada "panggilan alam", adiknya pun permisi sebentar ke toilet. Namun tak dinyana, area di mana toilet itu berada adalah area steril. Menurut pihak keamanan yang ada di sana, area itu hanya bisa diakses oleh mereka yang menggunakan tanda pengenal alias ID Card khusus. Alhasil, adik sang kawan terlanjur masuk tapi tak bisa keluar.

Situasi itu tentu menggelitik pikiran kawan saya, bagaimana bisa masuk tapi tak boleh keluar. Kebijakan yang dijelaskan oleh oknum security membuat kawan saya tak puas, karena beberapa kali dia melihat orang-orang atau karyawan hotel Hilton, termasuk office boy, bisa mondar-mandir melewati area steril itu. Padahal, tak satupun dari mereka menggunakan tanda pengenal.

Sekitar setengah jam tertahan di dalam area itu, adik perempuannya pun bisa keluar setelah bernegosiasi dengan koordinator keamanan yang kebetulan datang. Namun kawan saya sudah terlanjur kesal sehingga dia mendatangi oknum keamanan itu dan serta merta menghantamnya.

"Anda lihat tidak, adik saya sekarang bisa keluar. Tapi coba anda lihat, apakah adik saya menggunakan ID Card? Kebijakan macam apa yang anda lakukan? Padahal anda bilang adik saya tak bisa keluar," tanya kawan saya selepas memukul oknum itu.


Saya tersenyum melihat kawan saya terus cerita sambil protes bahwa event internasional seperti Java Jazz itu melibatkan sejumlah orang yang bermental kampungan. Selain itu, kawan saya juga mempertanyakan kenapa orang-orang yang bekerja di dalamnya tak diliput oleh banyak media, kecuali Kompas dan Jakarta Post.

Saya sendiri termasuk ngebet ingin nonton, tapi karena Kompas sempat menulis sejumlah kekurangan dalam penyelenggaraan, niat itu menghilang. Saya toh tak mau membuang uang sekitar Rp 300.000 jika kualitas yang diperoleh cukup rendah. Beberapa kekurangan yang paling mengganggu minat saya untuk datang adalah kualitas dan penanganan sound sistem yang katanya amatir.

Urusan keamanan, saya setuju memang harus ketat apalagi di jaman penuh teror seperti sekarang. Tapi jika sudah berada di dalam area festival, seharusnya semua penonton dijamin kenyamanannya. Proses penyaringan sudah harus dilakukan sejak pintu masuk, sehingga mereka yang sudah berada di dalam dipastikan aman dan bukan pihak-pihak yang berniat memancing di air keruh.

Ataupun jika ada steril area di dalam area festival itu sendiri, toh bisa diambil kebijakan khusus sesuai kondisi alias tak perlu kaku. Apalagi dalam kasus kawan saya, mereka adalah pemegang tiket dan tak ada alasan atau motivasi untuk memperkeruh suasana kecuali hanya ingin menonton konser jazz.

Kalau urusan sikap profesional kerja, lebih baik gunakan hansip di kawasan perumahan saya tinggal. Mereka pasti tak mau pusing dengan area-area khusus, yang lewat tanpa alasan jelas di waktu-waktu tak normal, harus diinterogasi dulu. Itu pun pasti dilakukan selunak mungkin dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
 
posted by Hedi @ 11:58 PM | Permalink |


2 Comments:


At 12:55 AM, Blogger Sisca

Mas Hedi, saya kok baru ngeh di tanah air kita masih kayak gitoh ya..jd prihatin deh :(..

smg di masa mendatang segalanya lebih baik :)

 

At 11:12 AM, Blogger mpokb

psst.. katanya kalo disebut negro mereka merasa direndahkan. maunya disebut keturunan afrika atau black. padahal negro sama black artinya sama2 hitam yak? hm... rasisme di sepak bola seperti apa?