Tuesday, February 21, 2006
Ibu Sarie vs Moge
Seminggu ini satu milis yang saya ikuti, penuh dengan ulasan bentrok Ibu Sarie dengan pengendara motor gede di daerah Cinere, Jakarta Selatan. Saya sendiri ga terlalu ngikuti detilnya. Yang saya tahu, Ibu Sarie mengklaim dilecehkan dan mobilnya mendapat kerusakan dari kelompok moge itu.

Tapi hari ini, ada email terbaru soal bantahan dari kedua belah pihak yang bertikai *kaya perang aja*. Intinya, kedua belah pihak punya versi kebenaran masing-masing. Dan sepertinya, urusan mereka berdua, kalaupun benar, hanya melibatkan oknum tertentu.

Buat saya masalah seperti ini biasa terjadi di jalanan, terutama di Jakarta. Semuanya berawal dari kesombongan dan merasa dirinya benar. "Ah, saya ada di jalur yang benar kok, mereka yang harus ngalah." Itu salah satu ungkapan yang biasa saya dengar.

Tadi waktu berangkat ke kantor, juga ada dua pengendara motor saling ngotot arahnya yang benar. Satu berusaha menerobos lampu merah dan yang lain merasa punya hak lewat karena sudah hijau. Saya sendiri pernah jatuh gara-gara sombong di jalanan dan insiden itu membuat saya punya hikmah. Mengalah adalah jawaban terbaik, kan paling cuma sekian menit, gak sampai satu jam. Tapi saya gak mau munafik, kalau jalan sudah macet parah, emosi memang bisa memuncak.

Cuma, apa tabiat orang kita yang memang suka kelewat batas? Entah arogansi karena status, jabatan, atau predikat lainnya. Berapa banyak kita sering lihat kendaraan ditempeli stiker militer, gantungan tanda pangkat, atau yang menandakan keunggulan. Memangnya, kalo motor atau mobil ditempeli stiker Polisi Militer (yang dijual bebas itu), gak mungkin kena tabrak?

Urusan melanggar lampu merah, saya pun paling anti biarpun jalan sedang sepi sekalipun. Yang pertama, merah berarti berhenti. Kedua, saya gak mau dibilang orang kurang pengetahuan. Kalaupun begitu ya saya terima, tapi orang lain gak perlu tahu. Karena saya melanggar, orang lain pun jadi tahu, walaupun belum tentu kenal saya.

Mungkin benar kata orang-orang tua, bangsa kita umumnya bermental budak. Kalau ada petugas bisa tertib, kalau petugas hilang, semrawut lagi...
 
posted by Hedi @ 11:27 PM | Permalink |


7 Comments:


At 5:26 AM, Anonymous Anonymous

Mengalah adalah jawaban terbaik, kan paling cuma sekian menit, gak sampai satu jam
Saya setuju, ngebut dan melanggar aturan nggak sebanding dgn resikonya. Andai semua pengguna lalin bisa tertib ...

 

At 7:29 AM, Blogger Linda

mungkin salah satu penyebabnya adalah gengsi. orang kita kebanyakan gengsian orangnya. keknya kasus ini juga dah masuk ke tv deh.

semoga makin banyak orang sabar di dunia ini biar gak ada kejadian serupa terulang lagi

 

At 7:32 AM, Anonymous Anonymous

maksud hati seh mau mengalang bang.. tapi klo yg laen masi mau menang ndiri.. makin susah kali yah?

 

At 10:38 AM, Anonymous Anonymous

siapakah ibu sarie?

espresso.over-blog.com

 

At 12:52 AM, Anonymous Anonymous

Iya juga ya. Temenku udah lama di luar negeri, sepulangnya ke Indonesia jiwa mengalahnya jadi nggak tertandingi (apalagi di sana ada atuaran "Right is right", yang artinya kalo ada yang datang dari sebelah kanan harus diberi jalan dulu). Sampailah dia di satu bundaran yang ramai, pas jam rame. Sambil memegang falsafah "right is right" dia ngasih jalan sama sesama pengguna bundaran (hehehe) yang dateng dari kanan. Alhasil, dia bengong di sana setengah jam sebelum diomeli oleh penumpangnya.

Ada lagi temen bule yang nanya, "kenapa sih di Indonesia kalo ngeliat lampu kuning malah tancap gas?"
Dijawab oleh teman yang lain, "kalo nggak tancap gas, bisa ditabrak sama yang di belakangnya."

Tapi, denger-denger, di Shanghai pengendara sepeda lebih buas lagi ya?

 

At 1:51 AM, Blogger CIAO ITALIA!

numpang komentar lagi:

allo henny, iyah, kalo liat lampu kuning bawaannya kalap, bak kesurupan mika hakkinen (for the ten seconds!)

LOL

espresso.over-blog.com

 

At 4:41 AM, Blogger popularz

yup.
nice blog,
keep blogg