Banana Talk adalah istilah buat ngobrol, tapi hari ini rekan kantor saya justru membawakan saya sesisir pisang dan sebungkus ketan untuk sarapan. Saya yang masih setengah konsen setengah sadar karena baru saja pulih dari demam akibat perubahan musim jadi seneng sekali.
Ketan mungkin bagian paket yang tidak saya gubris dengan antusias meski datang di saat saya belum sarapan (wong mau ke luar kantor terhalang hujan yang mengguyur Jakarta sejak pagi). Tapi lain halnya dengan pisang sebab inilah buah favorit sejak saya tahu khasiatnya. Rekan saya pun tahu itu, terlebih di saat saya butuh "obat".
Di kantor dan lingkungan bergaul yang terdekat, saya dikenal anti obat bahkan anti dokter. Bukannya saya takut disuntik, tapi karena saya selalu mencari obat-obat dari tumbuhan alami atau makanan sehari-hari. Saya gak mau tubuh saya menjadi kebal oleh obat lainnya karena seringnya minum obat generik yang dosisnya terkadang jahat.
Pisang sudah saya yakini sebagai satu-satunya buah (atau makanan) yang punya kandungan antibiotik alami, bahkan melebih Ponstan 500 mg. Saya gak tahu apa kandungan empirisnya karena saya gak pernah kuliah kedokteran atau medis. Coba baca informasi soal pisang di situs Departemen Kesehatan pun tetap gak paham.
Saya hanya punya modal pengalaman positif dengan pisang, makanya menu buah itu selalu jadi kawan saya. Kandungan antibiotik yang dimilikinya membuat anak-anak balita pun perlu mengkonsumsi buah yang umumnya berwarna kuning itu agar antibodinya tetap terjaga bagus.
Eyang kakung saya pun bisa sembuh total dari penyakit jantung koronernya karena rajin makan pisang. Beliau mungkin tak menyadari hal itu, tetapi akhirnya divonis dokter sudah pulih dari penyakit berbahaya itu. Penyakit diare saya pun bisa sembuh kalau makan pisang, tak perlu obat-obat penahan mulas lain.
Semalam, saat demam mengganggu metabolisme tubuh, saya hanya makan satu buah pisang. Saat bangun pagi-pagi, badan terasa agak enteng, plus sekarang ditambah lagi kiriman pisang teman.
Jadi, ayo makan pisang...