Saya dapat kiriman SMS dari seorang kawan yang punya profesi guru sekolah menengah pertama. Dia mengeluh sulitnya mencari solusi setelah salah seorang muridnya (minimal satu orang) diduga melakukan pencurian di kelas. Barang yang hilang adalah ponsel dan ini adalah peristiwa kehilangan kedua di sekolah itu.
Yang membuat kawan saya pusing tujuh keliling adalah situasi yang tidak mendukung. Selain orang tua si korban yang menuntut kasus ini diselesaikan tuntas, termasuk penggantian barang yang hilang, pihak sekolah ternyata memberi parameter yang aneh.
Pihak sekolah, dalam hal ini yayasan dan manajemen, tidak mengizinkan kawan saya untuk membawa kasus ini ke polisi. Alasannya, demi nama baik sekolah *konyol !*. Mereka sepertinya tidak berpikir apakah tanpa ke polisi, berita kasus ini juga tak akan kemana-mana. Bagaimana dengan murid-murid yang pasti akan melakukan sambung mulut berbagi cerita dengan pihak luar.
Saya sendiri mengusulkan polisi tak berseragam untuk menyelesaikan kasus ini, sambil membawa alat deteksi kebohongan. Namun kawan saya tetap menolak karena pesimis usul itu akan diterima pihak sekolah.
Padahal sekolah ini sudah pernah mengalami kehilangan uang sejumlah ratusan ribu, namun kala itu masih beruntung orang tua korban tak memperpanjang. Tapi buat saya, indikasi bahwa sekolah itu punya unsur kriminal di dalamnya makin kental. Jika didiamkan, bisa jadi sinyalemen yang gawat.
Kasus Raju yang hanya karena perkelahian anak-anak saja bisa (terlanjur) diseret ke pengadilan (kendati itu tak dibenarkan oleh Undang Undang) dan dihukum, mengapa kasus pencurian justru tidak?
Yang melakukan sudah pasti anak SMP (lebih tua dari Raju) dan tindakannya adalah kriminal. Ini bukan sekedar klepto, tetapi sudah jelas maling. Kenapa tidak diproses hukum saja, kalaupun tidak perlu sampai pengadilan, setidaknya kantor polsek bisa membuat efek jera bagi pelaku. Saya yakin jika kasus ini tak dibawa ke polisi, akan muncul kasus-kasus serupa di masa depan di sekolah itu.
Jaim...jaim...ada apa denganmu?