Sewaktu masih mengontrak rumah bersama dengan empat orang kawan, kami sering memainkan game di malam hari (belajarnya kapan?). Entah itu permainan kartu remi, truf atau domino (gaple). Permainan boleh berbeda, tapi hukuman bagi yang kalah tetap sama, push up, termasuk saat bermain scrabble. Lalu bagaimana perhitungannya? Ini yang seru!
Dasar memang masih masuk dalam usia semangat, semua harus bisa menghasilkan hukuman push up. Permainan kartu atau domino kami menggunakan sistem perhitungan RT. Artinya, dibuat dulu angka penutup permainan, katakanlah 100. Maka orang yang nilainya tidak mencapai itu harus menjalani hukuman. 100 kemudian dibagi empat dan hasilnya 25. Hanya karena ada unsur kasihan bila satu orang harus push up sebanyak itu, maka dibagi untuk dua orang terbawah dan harus push up sebanyak 12 kali.
Lalu bagaimana dengan scrabble yang nilainya bisa mencapai lebih dari 100? Ini lagi mengandung semangat iseng anak-anak muda. Pokoknya kami ngotot angka tertinggi dibagi sekian agar bisa menghasilkan angka yang tidak lebih dari 20 saja untuk hukuman push up.
Permainan scrabble berbahasa Inggris, susah-susah gampang. Baik yang punya TOEFL tinggi atau rendah, pasti punya kesulitan yang sama. Mereka yang fasih pasti bingung juga apabila delapan huruf yang dimiliki seluruhnya huruf mati (konsonan), belum lagi jebakan-jebakan di papan permainan.
Sempat pula ada yang bermain curang dengan memasang kata yang tidak banyak diketahui orang. Maka untuk menyiasatinya, dihadirkanlah kamus. Hanya masalahnya kamus yang bagaimana dulu dan berapa banyak koleksi katanya. Ini yang kadang-kadang jadi perdebatan.
Ada juga permainan scrabble untuk bahasa Indonesia. Tapi ini bukan masalah nasionalis atau tidak, rasanya bahasa persatuan itu kurang enak dimainkan dalam scrabble. Saya jadi merenung, bagaimana bila ada scrabble untuk bahasa daerah?