Bertemu kawan lama adalah hal yang menyenangkan walaupun dalam obrolan kemudian ada kabar-kabar yang buat hati jadi meringis. Sebelum berangkat ke kantor hari Jumat malam, saya sengaja menunggu seorang kawan yang baru seminggu kembali ke Jakarta. Dia pun senang bukan kepalang melihat saya rela menunggunya datang.
Banyak kabar yang saling kami lontarkan masing-masing. Tapi ketika dia mengatakan saya masih jadi orang yang cuek, saya hanya tertawa meski di dalam hati merenung. Apakah salah menjadi orang cuek, terutama pada kejadian-kejadian di sekitar.
Urusan cuek atau dingin, saya memang sudah terkenal di antara banyak kawan akrab. Mereka menilai saya sering tidak menggubris yang biasa digubris orang lain. Mungkin kalau dalam bahasa kerennya, biasa disebut apatis. Mantan teman dekat saya pernah mengatakan bahwa saya sangat cuek. Waktu saya tanya ada di angka berapa dalam skala 1-10, dia bilang 8 *walahhh*.
Mungkin, sikap seperti itu menjangkiti saya karena beberapa pengalaman buruk. Maksud hati peduli terhadap seseorang yang masuk dalam "link", tapi justru mendapat balasan yang tidak pada tempatnya. Saya tak tahu apa itu salah saya dalam penggunaan kata-kata atau memang dia yang berpikir negatif.
Alhasil, saya pun menjadi punya kehati-hatian untuk menyatakan peduli atau bersimpati. Tentu untuk hal berbentuk sumbangan, amal, kecelakaan dan dukacita atau kemalangan sejenisnya, saya tetap seperti orang kebanyakan. Hanya, sebelum melakukan itu, saya akan memikirkan situasi dan kondisinya.
Saya pernah berada di dekat perempuan yang kecopetan, tapi saya tak tahu bagaimana kejadian persisnya dan macam apa pelakunya. Yang saya tahu dia sudah jadi korban. Ada satu-dua orang yang peduli dengan bertanya dan mengusulkan solusi. Sedangkan saya tetap menjadi pendengar sesaat untuk kemudian diam lagi tanpa menggubrisnya.
Buat saya, kejadian yang sudah jadi bubur itu memang hanya bisa ditindaklanjuti oleh si korban sendiri atau (kalau memang ada) aparat. Mencoba bersimpati pun, barangnya tetap tak akan kembali dan bersimpati pun sudah diwakili orang lain. Ah, kamu memang cuek banget sih...
Banyak kabar yang saling kami lontarkan masing-masing. Tapi ketika dia mengatakan saya masih jadi orang yang cuek, saya hanya tertawa meski di dalam hati merenung. Apakah salah menjadi orang cuek, terutama pada kejadian-kejadian di sekitar.
Urusan cuek atau dingin, saya memang sudah terkenal di antara banyak kawan akrab. Mereka menilai saya sering tidak menggubris yang biasa digubris orang lain. Mungkin kalau dalam bahasa kerennya, biasa disebut apatis. Mantan teman dekat saya pernah mengatakan bahwa saya sangat cuek. Waktu saya tanya ada di angka berapa dalam skala 1-10, dia bilang 8 *walahhh*.
Mungkin, sikap seperti itu menjangkiti saya karena beberapa pengalaman buruk. Maksud hati peduli terhadap seseorang yang masuk dalam "link", tapi justru mendapat balasan yang tidak pada tempatnya. Saya tak tahu apa itu salah saya dalam penggunaan kata-kata atau memang dia yang berpikir negatif.
Alhasil, saya pun menjadi punya kehati-hatian untuk menyatakan peduli atau bersimpati. Tentu untuk hal berbentuk sumbangan, amal, kecelakaan dan dukacita atau kemalangan sejenisnya, saya tetap seperti orang kebanyakan. Hanya, sebelum melakukan itu, saya akan memikirkan situasi dan kondisinya.
Saya pernah berada di dekat perempuan yang kecopetan, tapi saya tak tahu bagaimana kejadian persisnya dan macam apa pelakunya. Yang saya tahu dia sudah jadi korban. Ada satu-dua orang yang peduli dengan bertanya dan mengusulkan solusi. Sedangkan saya tetap menjadi pendengar sesaat untuk kemudian diam lagi tanpa menggubrisnya.
Buat saya, kejadian yang sudah jadi bubur itu memang hanya bisa ditindaklanjuti oleh si korban sendiri atau (kalau memang ada) aparat. Mencoba bersimpati pun, barangnya tetap tak akan kembali dan bersimpati pun sudah diwakili orang lain. Ah, kamu memang cuek banget sih...