Sunday, March 19, 2006
Melepas Kangen
Berada jauh dari tempat asal atau tempat favorit sering mengundang kangen. Entah pada seseorang, mahluk hidup lain, makanan, atau suasana. Saya hanya setengah berdarah Solo, bukan seperti mas Balung yang asli kota batik. Tapi soal kangen pada makanan khas Solo, saya serupa dengan dia.

Ketika sedang dalam perjalanan menuju kantor tadi, saya pun mampir di depan markas besar Brimob Kelapa Dua, Depok. Saya bukannya mau ke markas polisi elite (yang sedang berduka) itu, tapi wajah ditarik untuk menengok dan menghentikan kendaraan karena ada spanduk berwarna kuning yang bertuliskan "Kupat Tahu Solo - Kangen". *...hmm, sayang tak ada kamera*

Ketika sudah berada di depan meja dagangan, saya baru sadar bahwa kios kaki lima itu ternyata tak hanya menjual ketupat tahu, namun juga sego kucing (nasi kucing) dan pernik lainnya khas jajanan Solo, seperti tempe mendoan plus petis udang. Memang belum lengkap, tapi seperti judul warungnya, cukup buat melepas kangen.

Sebenarnya warung itu sudah seminggu terakhir jadi perhatian saya. Namun baru kali ini bisa dan niat berhenti guna membeli ransum untuk penahan kantuk dan lapar saat kerja nanti. Saya pesan satu porsi ketupat tahu dan satu bungkus nasi kucing (isi teri) plus dua tusuk sate telur puyuh. Untuk ukuran Jabodetabek, semua dibungkus dengan harga Rp 7000 masih cukup murah...

Makanan tradisional di Jabodetabek memang sulit dicari atau kalau pun ada hanya cukup untuk kangen-kangenan saja, belum bisa memenuhi kualitas asal. Beberapa rekan yang asli Jawa Timur, rata-rata mengeluh kesulitan menemukan rujak cingur meski bukannya tak ada. Tapi mereka maklum karena petis yang menjadi bumbu rujak cingur sulit diperoleh di ibukota. Saya tak tahu dan tak berniat tanya dari mana warung ketupat tahu tadi bisa mendapatkan petis yang masih masuk dalam keluarga terasi.

Sulitnya mencari makanan asli dari daerah asal bukan hanya didominasi orang kita. Kawan saya yang berasal dari Amrik pun sering sulit mendapatkan paket makanan dengan menu omelet telur, meski masih bisa memperoleh hamburger. Kalaupun ada di kafe atau hotel tertentu dan dia tak mungkin harus setiap hari makan di situ. Alhasil, dia wajib menyesuaikan diri dengan makanan kita yang penuh bumbu itu.

Tapi, saya biarkan saja, toh penyesuaian diri adalah salah satu esensi hidup. Mungkin itu pula yang menjadi alasan sejumlah pemain asing asal Amerika Latin di sepakbola kita saat sedang asyik makan soto ayam pada suatu waktu.
 
posted by Hedi @ 10:46 PM | Permalink |


5 Comments:


At 4:14 AM, Blogger Sisca

Mas Hedi, setuju banget ya..lidah memang tidak bisa dibohongi..

yang paling nikmat adalah rasa masakan kala kita bertumbah bersamanya..:)

 

At 8:37 AM, Anonymous Anonymous



lol, sejak kapan ketupat jadi «kupat» heheee atau mungkin ketupat adalah istilah betawi doang?

makanan lezat euy.

 

At 2:29 PM, Anonymous Anonymous

penyesuaian itu emang penting, dimanapun menginjakkan kaki rasanya tidak mungkin untk memaksakan seperti dikampung halaman, jadi nikmati saja feel free bwt baca ini lho

 

At 12:28 PM, Anonymous Anonymous

tahu kupat [magelang], tahu guling [yogya], tahu campur [semarang]. saya suka!

 

At 9:55 AM, Anonymous Anonymous

sekarang kangen ku dah terobati di depok ui udah ada sego kucing. namanya warung nasi kucing hek solo, weleh-weleh suasananya kya di jl.slamet riyadi,solo mak nyos deh...!!

BUAT TEMEN-TEMEN yang berminat mencoba makanan malam khas solo

DImbuka PADA TANGGAL 31 MEI 2008

telah DImbuka warung hek SOLO di margonda,depok ui

BUKA JAM 07.00 MALAM - SELESAI

MENU :

NASI KUCING Rp.2000
NASI OSENG Rp.2000
BRAMBANG ASEM Rp.1500

TAHU n TEMPE BACEM Rp.500

WEDANG JAHE (ORIGINAL) Rp.2500
WEDANG JAHE PLUS-PLUS Rp.3000

sate macem2 Rp.2000

DLL.

PETANYA di web:
klik disini