Friday, July 14, 2006
Menyikapi Alam
Jakarta sudah habis
musim kemarau api
musim penghujan banjir

Jakarta tidak bersahabat
api dan airnya bencana
entah karena kebodohan, kecerobohan atau keserakahan



Itu penggalan lirik "Lagu Dua" milik Iwan Fals di album "Hijau". Lagu yang menceritakan kegelisahan bang Iwan terhadap lingkungan di Jakarta, sehingga dia sempat pindah ke daerah Puncak.

Tapi lama kelamaan, kesadaran mengatakan bahwa bukan Jakarta yang tidak bersahabat. Alam (Jakarta) sudah memberi segalanya bagi mahluk hidup yang ada. Hanya masalahnya, ternyata kita yang sering tidak berusaha bersahabat dengan lingkungan sehingga mereka juga berontak sebagai tanda protes.

Alam di seantero negeri ini memang sudah salah tatanan sehingga apapun musim yang terjadi, lebih banyak bencana yang diraih. Harian Kompas selama tiga hari belakangan terus memunculkan tajuk utama mengenai kekeringan di halaman pertama.

Musim kemarau yang sedang terjadi saat ini membuat waduk-waduk dan sumur menjadi kering. Lahan pertanian menangis karena tak diberi minum oleh irigasi yang juga mengering. Bahkan binatang-binatang seperti kera di beberapa hutan juga kerepotan karena pohon-pohon sebagai sumber makanan mati dan layu.

Ini memang klasik. Di saat hujan, tak sedikit daerah yang mengalami kerugian besar akibat banjir. Tetapi begitu musim berganti menjadi kemarau, kerugian yang kurang lebih sama juga harus dihadapi.

Menanam pohon/tumbuhan sebaiknya memang terus digalakkan. Ide klasik itu sudah lama kita ketahui, bahkan sejak masih SD. Sayangnya, di kota malah beton yang jadi penguasa. Jakarta yang mayoritas masyarakatnya masih mengambil air dari tanah karena keterbatasan saluran PAM, membuat sumber air tanah menjadi cepat habis karena eksplorasi berlebihan.

Malangnya lagi, beton membuat tanah menjadi tertutup plus miskinnya tanaman. Alhasil begitu hujan turun, tanah tak mampu menyerap dan air justru meluber ke mana-mana alias banjir.

Mungkin demi mengakrabi alam dan menyeimbangkannya demi perubahan musim, maka saya memulainya di rumah sendiri. Halaman rumah yang sangat terbatas itu terpaksa saya tanami berbagai tumbuhan dan pepohonan sedang. Pertama, untuk tempat burung (gereja) bermain, kedua untuk menampung air hujan agar bisa jadi penampung sumber air tanah.

Hasilnya, di saat sumur tetangga kering, tempat saya tetap mengucur walau penggunaannya harus dihemat sebisa mungkin. Toh kita tak tahu kapan kemarau akan terus berlangsung karena ramalan bisa saja meleset. Kemudian, kita juga masih bisa membagi air yang ada dengan tetangga yang kering.

Jadi, jangan tutup total hamparan tanah yang ada di tempat tinggal anda jika memang ada. Sebaiknya sisakan sedikit dengan ditanami pohon kecil atau sedang agar bisa menampung air hujan dan menyimpannya untuk digunakan di saat kemarau.

Kalau mereka masih mau dan bisa, maka (selayaknya) kita juga demikian.


 
posted by Hedi @ 6:30 PM | Permalink |


13 Comments:


At 12:49 PM, Anonymous Anonymous

pernah gak kebayang bahwa suatu hari nanti memiliki pohon akan dikenakan pajak karena termasuk barang mewah?

 

At 4:00 PM, Anonymous Anonymous

katanya nanti bakal ada larangan penggunaan air tanah ... yg gw denger ... gara-gara banyaknya sumur bor (untuk sumur rumahan atau jetpump) tanah di daerah jakarta sudah turun 3 cm ...

 

At 7:29 AM, Anonymous Anonymous

ini ajakan yang membumi. saya setuju..

 

At 11:49 AM, Anonymous Anonymous

Kita memang harus kembali menghargai dan melestarikan fungsi serta daya dukung lingkungan....salut Mas, mulai dari yang kecil tapi konsisten.

 

At 6:52 PM, Blogger Sisca

Benar mas, andai separuh saja orang menyadari dan bertindak seperti yg mas lakukan di pekarangan, saya yakin, bencana demi bencana bisa berkurang.

Smg postingan ini menjadi contoh bagi pembaca untuk mulai sadar lingkungan :)

Pembelajaran yg sangat menarik, terima kasih:)

 

At 5:30 AM, Anonymous Anonymous

Mas Hedi, setauku itu penyanyi Iwan Fales rumahnya bukan di Puncak. Tapi memang daerah sekitarnya masih asri banget. Rumahnya di daerah Leuwi Nanggung (deket sama Cimanggis, Cibubur dan Cibinong)

 

At 8:04 AM, Anonymous Anonymous

Alhamdulillah, di Serpong air melimpah :)

 

At 11:27 AM, Blogger Linda

alhamdulillah di halaman rumah saya masih ada banyak tanaman dan masih ada lahan yg tidak dipelur biar bisa jadi resapan air

 

At 6:34 PM, Blogger mpokb

kebanyakan penduduk sih yak, daerah resapan air jadi dikorbankan buat hunian.. heran, amdal sering kali diabaikan..

 

At 8:50 PM, Anonymous Anonymous

# Moes Jum : sekarang memang dia tinggal di Cimanggis (kebetulan deket rumah saya)...tp waktu bikin lagu itu dia tinggal di Puncak

 

At 2:29 AM, Anonymous Anonymous

Bukan hanya di Jakarta, sepertinya diseluruh Indonesia memang begitu. Pembangunan gedung-gedung beton sama sekali tidak memperhatikan lingkungan sekitar, pohon-pohon yang ada dibabat tanpa ampun.

Tata kota semrawut tidak peduli dengan ekosistem.

Salam dari malang yang akan menjadi kota ruko. :(

 

At 12:43 PM, Anonymous Anonymous

setalah baca neeh blog gue jadi merasa sedikit bersalah sama taneman bonsai gue, udah hampir 2 minggu gak gue sirami..
hiks..hiks..
tapi untung nya kemaren malem hujan lumyan lebat, jadi puas deh bonsai gue minum.

 

At 1:20 AM, Blogger Eddy Fahmi

menyikapi alam, ooo...
lalu bagaimana sebaiknya kita menyikapi vetty vera? hehe :D