Wednesday, October 18, 2006
Sensor
Apa rasanya kehilangan uang sekitar 3 miliar rupiah hanya gara-gara segelintir orang memaksakan kehendak meski dimungkinkan peraturan? Sutradara film Rudi Soedjarwo dan produser Leo Sutanto hanya mengatakan kecewa dan tak bisa berkata apa-apa lagi ketika mengetahui film terbaru mereka, Dendam Pocong, terkena bredel Lembaga Sensor Film (LSF).

Film ini memang bukan sekadar bercerita soal pocong-pocongan, tapi menitik beratkan pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Dan menurut Ketua LSF, Titie Said, seperti dikutip dari Koran Tempo (Selasa, 17/10/06), film itu berpotensi membangkitkan dendam dan luka lama.

Rasanya, pendapat seperti itu terlalu berlebihan. LSF memang sebuah dilema. Satu ketika, pihak independen itu dibutuhkan, tapi di lain waktu justru jadi pihak otoriter dengan kuasanya memberangus sebuah karya film.

LSF juga mengklaim bahwa di film itu memuat adegan kekejaman dan kekerasan lebih dari 50 persen. Rasanya film G 30S PKI itu juga punya adegan kejam dan bengis, terlepas produknya direstui dan dihasilkan oleh penguasa (politik). Atau bagaimana dengan film Hollywood yang juga tetap lolos sensor meski punya adegan kekerasan sangat banyak. Dari awal hingga akhir.

Pernah di sebuah radio swasta, seorang anggota LSF mengungkapkan tugas-tugas mereka dan tanggung jawabnya terhadap masyarkat (penggemar film).

"Apa anda mau anggota keluarga anda melihat adegan yang sangat sadis di dalam film, misalnya adegan membantai manusia secara nyata atau langsung. Tentu tidak kan, ya itu kita potong," ujar si narasumber.

Bisa jadi, prinsip dan kebijakan dia (atau lembaganya) benar. Tapi masyakat juga punya hak untuk menilai apakah adegan tertentu pantas atau tidak. Masyarakat juga punya alat sensor sendiri. Norma di kalangan umum yang akan memberi vonis adegan tertentu boleh atau tidak. Lagi pula, suatu hal yang buruk atau pun bagus akan mudah tersebar dari mulut ke mulut (atau blog ke blog?). Belum lagi ada milis dan email yang sangat cepat menyikapi sebuah masalah.

Rasanya LSF lebih baik mengikuti kerja lembaga sejenis di negeri maju yang tidak membredel karya seni seenaknya. LSF setidaknya cukup memberi rekomendasi apakah film ini layak ditonton atau tidak, bagaimana isinya (review) dan yang sejenisnya.

Mungkin LSF hanya perlu melakukan sistem pemeringkat dengan membubuhkan tanda R-Rated, X-Rated, PG-Rated, G-Rated dan sebagainya terhadap film Indonesia. Atau untuk produk musik ada jenis rekomendasi "Parental Advisory Lyrics". Dalam praktek, label itu seperti peta bagi masyarakat sebelum mengonsumsi.

Tapi, seperti apa ya film "Demam Pocong" itu? Buat mas Rudi atau pak Leo, bolehlah saya dikirimi copy-nya :D
 
posted by Hedi @ 2:34 PM | Permalink |


6 Comments:


At 7:18 PM, Blogger venus

wah yg disensor gini malah bikin kita penasaran, nyari sampe ke ujung dunia..hehehe..
sam, kadit ngalup? maap lahir batin yo..

 

At 12:16 AM, Blogger Innuendo

aku juga mau lho...

atau rudi bekerjasama dg lfs biar pilemnya meledak ? sapa tau sebentar lg dilolosin and aku yakin, meledak

 

At 9:13 AM, Anonymous Anonymous

LSF kudu bikin aturan rating baru. yang sekarang: SU, BO, R, D udah boleh. tapi mungkin kudu ditambahin: Kejam-rated, Kejam-dan-bengis-rated, atau Paranormal-rated. Saking banyaknya felem2 Pocong-rated dan Jelangkung-rated di indonesia. Kuntilanak ada tuh. Julie Estelle yang main. Temenku nggak yakin felem horor Kuntilanak bisa bagus, tapi katanya... ya.. filem jelek tak mengapa, yang penting nonton Julienya.

:D

 

At 4:57 PM, Blogger Bangsari

film indonesia yang penontonnya sangat sedikit dan terbatas disensor. film saru tidak dikontrol dan beredar luas. byuh!

iki karepe piye?

 

At 10:21 AM, Blogger snydez

tunggu DVD nya kalo gitu.

baru tau kalo ternyata : sensor = bredel

setau saya : sensor : nutup/menghilangkan sesuatu bagian aja :)

 

At 5:34 PM, Anonymous Anonymous

kalo dapet film-nya saya dipinjemin ya.. :)