Tuesday, October 31, 2006
Yustisi
Setiap pasca Lebaran, pemerintah Jakarta punya hajatan rutin, operasi yustisi. Kegiatan untuk merazia para warga pendatang yang tidak memiliki kartu penduduk Jakarta. Sebuah rutinitas yang konyol.

Ironis memang. Bagaimana mungkin seorang warga negara Indonesia dilarang masuk ke Jakarta, jika tak punya kartu penduduk wilayah Jakarta. Bukankah Jakarta adalah anggota wilayah Indonesia dan kebetulan berstatus ibukota. Logikanya, setiap warga negara bebas bepergian ke daerah manapun sejauh masih berada di dalam negara itu sendiri. Kalau dilarang, apa gunanya Kartu Tanda Penduduk?

Setiap orang tentu tak ingin pergi dari kampung halaman, kota asli, daerah kelahirannya, jika masih bisa hidup dengan normal dan layak. Namun bila rumput tetangga lebih hijau dan menjanjikan, tentu dia lebih suka untuk berada di sana.

Tentu saja pembatasan orang (baru) untuk masuk ke Jakarta bisa disebut sebagai salah satu akibat dan ekses tak meratanya pembangunan. Jangan salahkan mereka yang datang ke Jakarta jika daerah ini lebih dan paling maju di Indonesia. Di mana ada gula, di situ semut hadir.

Jangan usir mereka yang datang dari kampung apabila daerah asli mereka tak lagi bisa memberikan penghidupan yang layak. Seperti seorang gadis muda dari daerah Jawa Barat yang datang ke Jakarta untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. "Soalnya di kampung, menggembala kambing seharian hanya diberi upah Rp 1000," katanya seperti dikutip koran Kompas beberapa hari lalu.

Dan lebih parah lagi, operasi yustisi hanya dilakukan setengah hati. Selalu orang kecil yang dirazia. Banyak juga orang kaya yang tidak punya KTP Jakarta tetapi sudah tinggal bertahun-tahun di sini.

Bagaimana jika dibalik? Orang ber-KTP Jakarta dilarang untuk masuk ke kota lain jika tak punya KTP daerah bersangkutan. Orang yang kepingin mudik, tak boleh masuk meskipun hanya ingin bertemu keluarga besarnya.

Pasti seru kalau demikian. Ini memang sebuah potret lain Indonesiana kita.
 
posted by Hedi @ 3:10 AM | Permalink | 7 comments
Friday, October 27, 2006
Sentilan untuk Telkomsel
Dalam masa liburan seperti sekarang, sangat wajar jika ada satu-dua hal layanan umum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Wajar, maklum, itu yang biasa dikatakan khalayak. Tetapi untuk urusan profesionalisme kerja bisa lain urusan.

Pertandingan sepakbola di Eropa sana tak kenal lebaran. Hari Natal lebih sehari pun orang Inggris masih berbondong-bondong ke stadion. Karena itu bidang pekerjaan saya dan kebetulan tidak merayakan hari Idul Fitri, maka saya masuk kerja. Ini urusan profesionalisme kerja, ada kondite yang perlu ditunjukkan, terlepas ada uang lembur yang lumayan besar.

Tetapi aneh buat saya. Perusahaan vendor seluler sebesar Telkomsel justru bersikap kurang profesional. Di akhir pekan sebelum Lebaran kemarin, sekitar 60 persen pesan SMS Premium macet, tak bisa terkirim ke pengguna akhir. Padahal urusan setoran pendapatan dari content provider (CP) harus lancar, harus penuh sesuai perjanjian, tak peduli ada masalah atau tidak.

Jika ada masalah seperti itu biasanya CP berusaha menghubungi content manager di Telkomsel. Jawabannya hampir seragam. "Mohon maaf pak, orang-orang IT kita terbatas dan sekarang sedang mencari penyebabnya."

Namun selalu saja masalah koneksi (pesan tidak bisa dikirim ke ponsel konsumen) selalu terjadi. Sebab masalah biasanya terbatasnya tenaga IT mereka. Padahal untuk perusahaan sebesar Telkomsel memperbesar anggaran gaji untuk menambah tenaga IT rasanya tidak terlalu memberatkan. Atau setidaknya mereka bisa menambah tenaga troubleshooting yang stand-by di malam akhir pekan atau saat libur. Kontinyu dengan sistem shift dan rotasi.

Konsumen dan CP tentu saja bisa berpikir yang tidak-tidak jika Telkomsel bekerja kurang responsif terhadap masalah. Apalagi perusahaan dengan konsumen terbesar di Indonesia itu sekarang sudah punya layanan premium sendiri baik untuk informasi sepakbola maupun umum.

Seringnya masalah seperti ini tentu tak baik di mata klien dan konsumen. Semoga Telkomsel mau mendengar keluhan ini.


 
posted by Hedi @ 10:59 AM | Permalink | 3 comments
Wednesday, October 18, 2006
Sensor
Apa rasanya kehilangan uang sekitar 3 miliar rupiah hanya gara-gara segelintir orang memaksakan kehendak meski dimungkinkan peraturan? Sutradara film Rudi Soedjarwo dan produser Leo Sutanto hanya mengatakan kecewa dan tak bisa berkata apa-apa lagi ketika mengetahui film terbaru mereka, Dendam Pocong, terkena bredel Lembaga Sensor Film (LSF).

Film ini memang bukan sekadar bercerita soal pocong-pocongan, tapi menitik beratkan pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Dan menurut Ketua LSF, Titie Said, seperti dikutip dari Koran Tempo (Selasa, 17/10/06), film itu berpotensi membangkitkan dendam dan luka lama.

Rasanya, pendapat seperti itu terlalu berlebihan. LSF memang sebuah dilema. Satu ketika, pihak independen itu dibutuhkan, tapi di lain waktu justru jadi pihak otoriter dengan kuasanya memberangus sebuah karya film.

LSF juga mengklaim bahwa di film itu memuat adegan kekejaman dan kekerasan lebih dari 50 persen. Rasanya film G 30S PKI itu juga punya adegan kejam dan bengis, terlepas produknya direstui dan dihasilkan oleh penguasa (politik). Atau bagaimana dengan film Hollywood yang juga tetap lolos sensor meski punya adegan kekerasan sangat banyak. Dari awal hingga akhir.

Pernah di sebuah radio swasta, seorang anggota LSF mengungkapkan tugas-tugas mereka dan tanggung jawabnya terhadap masyarkat (penggemar film).

"Apa anda mau anggota keluarga anda melihat adegan yang sangat sadis di dalam film, misalnya adegan membantai manusia secara nyata atau langsung. Tentu tidak kan, ya itu kita potong," ujar si narasumber.

Bisa jadi, prinsip dan kebijakan dia (atau lembaganya) benar. Tapi masyakat juga punya hak untuk menilai apakah adegan tertentu pantas atau tidak. Masyarakat juga punya alat sensor sendiri. Norma di kalangan umum yang akan memberi vonis adegan tertentu boleh atau tidak. Lagi pula, suatu hal yang buruk atau pun bagus akan mudah tersebar dari mulut ke mulut (atau blog ke blog?). Belum lagi ada milis dan email yang sangat cepat menyikapi sebuah masalah.

Rasanya LSF lebih baik mengikuti kerja lembaga sejenis di negeri maju yang tidak membredel karya seni seenaknya. LSF setidaknya cukup memberi rekomendasi apakah film ini layak ditonton atau tidak, bagaimana isinya (review) dan yang sejenisnya.

Mungkin LSF hanya perlu melakukan sistem pemeringkat dengan membubuhkan tanda R-Rated, X-Rated, PG-Rated, G-Rated dan sebagainya terhadap film Indonesia. Atau untuk produk musik ada jenis rekomendasi "Parental Advisory Lyrics". Dalam praktek, label itu seperti peta bagi masyarakat sebelum mengonsumsi.

Tapi, seperti apa ya film "Demam Pocong" itu? Buat mas Rudi atau pak Leo, bolehlah saya dikirimi copy-nya :D
 
posted by Hedi @ 2:34 PM | Permalink | 6 comments
Saturday, October 14, 2006
Memberi
Ndoro Kakung menulis kemiskinan di rumahnya, Jeng Rawon juga begitu. Saya justru mengalami langsung.

Tidak tahu kenapa begitu pas di saat mereka menulis soal itu, saya malah mengalami. Ketika sedang memanasi mesin motor di depan garasi, sesaat sebelum berangkat ke kantor tadi malam, datang seorang pedagang sendal keliling. Tak ada yang istimewa saat dia menghampiri saya, kecuali ketika dia mulai membuka suara.

"Mau beli sendal bos? Murah kok."
"Oh, tidak mas, terima kasih," jawab saya dengan nada flat.
"Dari tadi belum laku-laku, susah banget jualan. Sampai sekarang saya belum makan...," lanjutnya.

Perkataan terakhir dari sang pedagang, tidak saya jawab. Namun di kepala saya langsung muncul sejumlah pikiran begitu dia mengoceh sambil menyebut asma Allah, memberi doa kepada saya, memberkati saya, dan sejenisnya yang tak terlalu saya amati dengan cermat.

Perkataan "belum makan" dan asma Allah yang muncul dari mulutnya, terus terang mengejutkan saya. Maklum, waktu itu jam 7 malam. Tak heran begitu dagangan sendalnya tidak saya beli, dia meminta sedikit uang untuk makan.

Saya tak mau banyak bicara, keluarkan uang dan langsung memberinya. Saya tak mau menggubris dan berpikir jelek bahwa saat dia menghampiri saya, sekilas langkahnya dibuat susah, termasuk kemudian wajahnya dibuat semelas mungkin. Nyuwun pangapunten, Gusti.

Guru spirituil saya di Malang dulu pernah berujar bahwa kewajiban kita hanyalah memberi kepada mereka yang kekurangan, fakir, dan sebagainya. Tak perlu menggunakan dalih apapun saat akan memberi. Lagipula, orang yang datang kepada kita untuk memohon bantuan konon tidak datang dengan sendirinya. Mereka datang karena dituntun oleh Sang Kuasa.

Beberapa praktek seperti itu sering saya alami. Saat ada pengamen di rumah tetangga, saya biasanya sudah menyiapkan uang jika giliran rumah saya yang dihampiri. Tetapi pengamen itu justru melewati rumah. Tetapi kalau tidak bersiap diri, mereka justru datang seperti menguji apakah kita siap atau tidak.

Sejauh kehidupan ini masih ada, kekurangan dan kemiskinan akan terus ada. Hukum keseimbangan akan berlaku. Yang berkecukupan dan berlebihan tak ada ruginya untuk memberi kepada mereka yang berkekurangan. Mereka hanya miskin harta, tetapi kita diingatkan untuk tidak miskin hati dan kasih sayang apabila sudah kaya benda.

Namun, memberi dari situasi yang berkekurangan adalah yang paling bermakna. Apabila tidak bisa memberi benda, ada sebuah pemberian yang paling bernilai dan itu adalah doa. Sungguh malang jika doa pun sangat sulit kita berikan.

Semoga kita bisa terus memberi, baik natura maupun spirituil.
 
posted by Hedi @ 3:12 AM | Permalink | 9 comments
Wednesday, October 11, 2006
Yahoo Mail Beta
Saat memulai koneksi internet di manapun, hal pertama yang saya lakukan adalah memeriksa imel masuk di beberapa akun email. Tapi sewaktu login ke mail Yahoo, saya menemukan hal baru.

Seperti yang diperlihatkan skrinsyut berikut (klik untuk gambar lebih besar), Yahoo mengabarkan bahwa sistem email mereka akan berubah ke sistem Beta dalam waktu yang tak terlalu lama.






Setahu saya, sistem Beta sudah digunakan untuk akun email Yahoo versi bayar alias bukan gratisan. Tetapi berdasarkan info terbaru itu, maka sistem Beta akan diberlakukan di seluruh layanan Yahoo, termasuk yang gratis.

Kabar bagus ini menjawab sedikit keresahan saya. Maklum, di saat banyak orang ramai-ramai bermigrasi ke Gmail dulu, saya justru kurang antusias. Apa yang saya yakini bahwa korporasi sebesar Yahoo pasti akan terus mencari terobosan untuk meningkatkan layanannya, bahkan bagi konsumen gratisnya, kini terjawab meski harus menunggu dulu.

Jadi, kita tunggu saja...namanya juga gratisan.
 
posted by Hedi @ 9:43 PM | Permalink | 9 comments
Friday, October 06, 2006
THR
Bagaimana kabar puasa anda? Lancar semuanya kah? Saya sendiri masih berkutat dengan tumpukan tugas yang entah kapan akan memuai. Lelah dan mudah ngantuk adalah efek wajar yang saya alami hampir sebulan terakhir. Tentu saja tanpa stress, meski otak terasa beku kendati hanya untuk menulis posting.

Namun ada satu hal yang membuat rasa lelah dan ngantuk seperti tak terpikirkan di bulan Ramadhan ini. Idul Fitri tinggal hitungan 16 hari (bener ga?) dan itu sangat disenangi oleh para pekerja (baik muslim maupun tidak). Apa pasal? THR jawabannya. Tunjangan Hari Raya yang jumlahnya minimal sebulan gaji penuh.

Ooops, paragraf di atas tak bermaksud berjingkrak di atas kesulitan para pengganggur dan masyarakat yang masih berada di bawah taraf kecukupan. Atau kepada mereka yang bironya mengalami kesulitan keuangan sehingga tak bisa mengeluarkan THR tepat waktu. Mohon maaf.

Pemerintah sejak bertahun-tahun lalu selalu mengumumkan bahwa THR harus sudah dibagikan kepada karyawan seminggu sebelum hari raya. Tapi itu hanya peraturan atau himbauan semata. Prakteknya tidak demikian.

Di kantor saya, THR biasa dibagikan sehari sebelum cuti bersama. Agar tidak boros dan digunakan untuk yang tidak-tidak, maka saya terbiasa memasukkannya ke rekening. Nah, kalau dekat dengan hari raya, operasional bank biasanya sudah berhenti. Kalaupun masih buka, hanya untuk layanan kliring antar bank. Ini berarti masalah.

Kecenderungan orang memang mudah boros jika memegang uang dalam jumlah lebih banyak dari biasanya. Apalagi jika mereka bersifat impulse buying. Membeli tanpa perencanaan sebelumnya.

Lalu bagaimana caranya supaya tidak terjadi masalah. Saya hanya punya dua pilihan solusi dan menurut pikiran konyol saya, itu yang terbaik. Tapi ini hanya berlaku di luar situasi darurat.
  • Pertama, jika menerima uang di saat operasional bank sudah tutup. Saya biasa memutuskan untuk tidak mengambilnya. Biarkan saja dulu di bagian keuangan. Apalagi jika sedang tak punya kebutuhan mendesak.
  • Kedua, pinjam sejumlah dana yang sama kepada orang dekat jauh sebelum saya menerima THR. Bisa saudara atau kerabat karib. Uang pinjaman itu kemudian dimasukkan ke rekening. Nanti setelah menerima THR, tutup lubang itu.
Dari dua opsi itu, saya lebih sering melakukan yang pertama. Kalau yang kedua, hanya dilakukan jika terpaksa sekali. Tapi sampeyan semua punya solusi lain ga? Barangkali saya bisa menirunya.
 
posted by Hedi @ 10:36 AM | Permalink | 14 comments
Monday, October 02, 2006
Pencerahan tak Bersambut
Sebuah media massa pada dasarnya memiliki tanggung jawab untuk memberi pencerahan kepada masyarakat luas. Pencerahan dalam berbagai bentuk mengenai hal-hal yang sebaiknya diketahui publik (tapi dunia artis tak termasuk kategori perlu - infotainment sucks!).

Stasiun Trans TV termasuk salah satu media yang rajin melakukan pencerahan kepada pemirsa. Acara mereka, Reportase Sore, selalu berisi investigasi terhadap berbagai hal (negatif), kebanyakan produk makanan. Yang terbaru, trans mengungkap kandungan kimia berbahaya yang digunakan di produk makanan/minuman untuk berbuka puasa.

Disebutkan di acara itu kemarin, ada cendol, kolang kaling dan pacar cina (kenapa harus cina ya :p). Tiga makanan bahan baku itu menggunakan pewarna buatan agar tampilan menjadi menarik konsumen. Yang jadi masalah, pewarnanya adalah bukan untuk makanan, melainkan untuk tekstil!! Bisa diperkirakan betapa bahayanya.

Sebenarnya, proses (rekayasa) seperti di atas sudah berlangsung lama. Modus curang pedagang untuk mengelabui kesan alami hampir terjadi di semua produk makanan. Masih ingat dengan produk tahu, ikan dan mie yang menggunakan zat kimia formalin?

Acara seperti itu sebenarnya membuat saya senang. Tapi terbersit juga rasa tidak puas karena selalu pedagang kecil yang diinvestigasi. Beberapa pengusaha besar produk makanan juga tak jarang melakukan modus curang dalam produknya. Banyak produk bermerek di pasaran yang juga mengandung zat pewarna dan zat pengawet berbahaya. Mie instan yang digemari publik kita pun sudah bukan rahasia menggunakan pelezat buatan (MSG).

Namun selama ini nyaris tak pernah ada laporan investigasi media mengenai hal itu. Saya mahfum sangat sulit untuk mendekati narasumber dari perusahaan besar, apalagi mereka yang melakukan kecurangan. Maklum saja, perusahaan besar punya kepentingan terhadap merek dagangnya sehingga alergi terhadap pers. Berbeda dengan pedagang kecil yang produknya belum tentu punya merek tetap.

Tapi kadangkala, sebuah usaha pencerahan yang diakhiri dengan himbauan untuk tidak lagi mengonsumsi produk tertentu akan dilupakan masyarakat. Mie kuning berunsur formalin di pasar-pasar yang dulu sempat menghilang karena reportase Trans, kini sudah muncul kembali. Dalam kondisi lapar, ketakutan masyarakat akan efek negatif zat kimia bisa terlupakan. Ini memang terkait sifat permisif masyarakat kita. Jangan lupa ini pun hanya himbauan.

Sama seperti bahaya merokok yang selalu didengungkan, tapi saya tetap saja menghisapnya.
Atau kenyang dulu, baru mikir. Komen dulu, baru baca :p
 
posted by Hedi @ 2:21 AM | Permalink | 18 comments