Friday, March 31, 2006
Mau Libur, Tanggung Resikonya
Cuti bersama yang diterapkan pemerintah sehubungan dengan hari kejepit di antara hari libur Nyepi ternyata tidak direspon serempak oleh banyak perusahaan. Mungkin karena memang waktunya tak tepat.

Hari Raya Nyepi jatuh tanggal 30 Maret 2006, hari Kamis, sehingga ada hari Jumat sebagai hari terpepet. Ini tentu menggunakan logika lima hari kerja alias Sabtu dan Minggu libur. Bagi kantor yang terbiasa melakukan payday bukan di akhir bulan, tentu tak punya masalah, terutama untuk karyawannya. Tapi lain lagi urusannya jika terjadi di lapak saya.

Biro saya tidak menggunakan sistem gaji melalui transfer rekening bank, melainkan langsung cair. Dan urusan menjadi makin penting ketika gajian jatuh di tanggal 30 atau 31 suatu bulan atau hari kerja terakhir jika tanggal pamungkas jatuh di hari Minggu atau libur. Jadilah rombongan biro saya tak libur, kecuali di hari Kamis.

Pengecualian pun bertambah bagi para pekerja di bagian keuangan. Selain menyiapkan dana untuk gaji, mereka tetap masuk di hari Kamis guna berkeringat mengurus data-data pajak yang jatuh tempo.

Beberapa kawan saya di biro lain juga tak libur di hari Jumat. Sementara dua adik saya sudah hengkang ke area wisata dan dipastikan baru ada di rumah kembali pada hari Minggu. Tapi bagi yang tidak libur (dari kantor), pasti punya sistem bayaran sama dengan biro saya.

Namun ada pula orang yang kaget bahwa cuti bersama itu memotong jatah cuti karyawan yang setahun hanya total dua minggu tersebut. Mereka pikir cuti bersama bersistem free alias tak mengurangi hak cuti asli.

Tapi tenang, bulan April ini ada dua kali cuti bersama lagi. Buat yang tidak libur di akhir Maret ini, silahkan menikmati karena di dua sesi itu mungkin tak bentrok dengan masa payday. Tapi urusan hak cuti mengerut, ya tanggung sendiri.
 
posted by Hedi @ 6:17 PM | Permalink | 5 comments
Thursday, March 30, 2006
Ibu Guru Sudah Bebas
Betapa leganya melihat Ibu guru Nurlaila diputus bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Beliau adalah mantan guru SMP 56 Melawai, Jakarta Selatan, yang dihadapkan ke persidangan setelah menolak pemindahan sekolahnya ke daerah Jeruk Purut yang juga masih berada di kawasan selatan ibukota.

Dari awal, kasus tukar guling SMP 56 yang dipelopori oleh pemerintah propinsi DKI memang sudah aneh. Lebih banyak bermuatan politis dan koruptis ketimbang sosial. Alasan pemerintah kota, sekolah itu sudah tak layak berada di kawasan Melawai yang merupakan kawasan bisnis. Lho, bukankah sekolah itu sudah berdiri lebih dulu, jauh sebelum Melawai dan Blok M dijadikan kawasan niaga dan bisnis?

Tapi dengan keputusan hakim dengan membebaskan Ibu Nurlaila, sedikit banyak menunjukkan adanya perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan. Kendati demikian, hakim dalam penjelasannya merujuk lemahnya dakwaan jaksa sehingga Ibu Nurlaila tak pantas dikenai hukuman.

Positifnya hasil sidang itu bak oase di gurun pasir. Dunia pendidikan Indonesia memang sedang berada di titik nadir. Mulai dari infrastruktur yang nyaris hancur sampai lemahnya perangkat lunak. Perbaikan pendidikan Indonesia kini mulai menunjukkan peningkatan, minimal dalam bentuk perhatian pemerintah.

Di beberapa daerah, biaya sekolah mulai digratiskan meski masih untuk level sekolah dasar. Di daerah rumah saya, Depok, mulai tahun 2007, sekolah dasar dan sebagian SMP akan bebas iuran, meski ada pula yang masih (akan) memungut biaya tak lebih dari 20 ribu per bulan per siswa. Konon, iuran hanya akan diterapkan pada anak yang orangtuanya masuk kategori mampu.

Tapi setidaknya hal itu menunjukkan bahwa pijakan untuk memperbaiki taraf pendidikan masyarakat luas telah dimulai. Modus itu setidaknya bisa meminimalisir menjamurnya anak-anak di jalanan guna mencari nafkah. Pemerintah pusat sendiri saat ini tengah menggodok kemungkinan anggaran pendidikan sebesar 20 persen untuk periode mendatang. Memang belum signifikan untuk memperbaiki segalanya, tapi itu sudah lumayan.

Semoga bebasnya Ibu Nurlaila menjadi pembuka harapan agar dunia pendidikan Indonesia bisa semakin baik.
 
posted by Hedi @ 9:34 PM | Permalink | 1 comments
Police Pun Dikredit
Saya tak pernah menyangka bahwa kacamata gaya pun bisa dikredit. Modus penjualan itu saya temui di iklan harian Kompas beberapa waktu lalu. Promosi yang dilakukan oleh Optik Seis itu menjual berbagai merek kacamata, termasuk merek bonafid seperti Oakley atau Police.

Saya tersenyum melihat strategi marketing toko optik terkenal itu. Saya akui mereka punya orang pemasaran yang jeli melihat peluang dan situasi. Jaman likuiditas yang ketat seperti sekarang ini, orang menjadi sulit untuk merogoh kantong demi barang-barang sejenis itu, jika tak mau dikatakan punya dana untuk pembelian tunai. Apalagi, harganya tidaklah murah. Jadilah taktik kredit diterapkan.

Entah berapa besar hasil penjualan kacamata melalui sistem kredit. Tetapi bisa jadi, sistem itu ditempuh untuk menjaring pangsa pasar lain. Kacamata bermerek Oakley dkk. tentu hanya untuk kalangan menengah ke atas. Dan konsumen dari kelas itu pasti tak keberatan untuk membeli secara tunai.

Jadi, kredit tentu diarahkan untuk kelas menengah ke bawah yang mungkin tertarik untuk mengenakan kacamata gaya berharga mahal. Jika biasanya, mereka membeli kacamata fancy berharga kisaran 25 ribu perak, sekarang bisa memiliki barang sejenis dengan harga kisaran 1 juta perak via kredit.

Saya pribadi belum tertarik untuk membeli, meski dengan sistem kredit. Yang pertama, saya tak terlalu senang bergaya dengan kacamata. Kedua, saya akan memilih untuk melakukan kredit barang lain. Prinsip saya, kalau mau kredit sekalian yang lebih mahal saja, misalnya rumah atau mobil.

Andai kena tilang polisi bisa dibayar juga dengan sistem kredit...nyicil!!
 
posted by Hedi @ 7:08 PM | Permalink | 2 comments
Friday, March 24, 2006
Beli Buku Apa?
Dalam perjalanan pulang dari kantor kemarin, saya menyempatkan diri mampir ke markas buku Gramedia di Mal Pondok Indah. Kendati masih ada satu buku di rumah yang belum selesai dibaca, saya berniat untuk membeli satu atau dua buku baru.

Tapi hampir satu setengah jam di sana, saya capek dan pulang tanpa bawa buku apapun. Saya terlalu bingung untuk menentukan buku mana yang harus saya beli dan dibaca. Dan saya tak berniat untuk berburu buku di markas lain. Saya khawatir hasilnya tetap nihil.

Jadi, adakah rekomendasi yang bisa saya pertimbangkan?
 
posted by Hedi @ 6:15 PM | Permalink | 11 comments
Tersedot Piala Dunia
Kata orang, Piala Dunia sepakbola adalah hajat terbesar kedua yang paling banyak menyedot perhatian khalayak setelah Olimpiade. Saya pun demikian. Bekerja di media yang mengurus sepakbola, membuat waktu kerja jadi lebih banyak tercurah ke sana.

Menyiapkan materi (content) menjadi menu utama. Maklum saja, kantor saya juga ikut-ikutan "hobi baru" perusahaan media yang bermain program SMS. Tapi justru sektor materi itulah yang paling sulit dan butuh ketelitian untuk dikerjakan. Statistik, nama-nama, pernik dan hal teknis sepakbola menjadi pusat perhatian peliput demi kepuasan pembaca.

Piala Dunia memang harus diakui keberadaannya, apalagi bagi mereka yang hobi nonton sepakbola. Konon, perang pun bisa berhenti sejenak jika Piala Dunia digelar. Unsur hiburan menjadi magnet dan untuk sebagian orang guna mengeruk keuntungan. Para sponsor, pencipta dan penjual merchandise, hotel atau jasa umum lainnya, negara penyelenggara, hingga negara peserta menjadikan Piala Dunia sebagai peristiwa untuk membangun kejayaan dan kekayaan.

Jepang yang akan menjadi peserta di putaran final di Jerman nanti, pun sudah mulai menghitung keuntungan dari perhelatan itu. Bahkan negeri matahari terbit itu optimis bisa membangkitkan kelesuan ekonomi yang kini tengah berjalan.

Bagaimana dengan negeri kita sendiri? Indonesia masih tetap jadi penonton. Justru devisa negara tersedot keluar, terutama dalam bentuk hak siar televisi yang nilainya jutaan dolar itu. Masih untung replika trofi Piala Dunia sempat berkunjung ke Jakarta sekitar dua minggu lalu. Tapi mungkin kafe atau bar di sini masih bisa ikut mengais keuntungan karena biasanya ada program nonton bareng. Atau SCTV juga masih bisa mengejar balik modal yang digunakan untuk membeli hak siar melalui iklan televisi dan sponsor.

Tapi biar begitu, publik kita nyaris tak akan protes. Para pencipta lapangan kerja dan bos-bos di kantor juga seperti memaklumi jika selama awal Juni hingga awal Juli nanti, pegawainya banyak yang mengantuk di jam kerja karena lebih banyak bergadang.

 
posted by Hedi @ 5:08 PM | Permalink | 2 comments
Parkir Belum Tentu Secure Parking
Harian Warta Kota Jakarta memberitakan bahwa kasus perseteruan antara seorang konsumen dengan jaringan pengelola parkir, Secure Parking (SP), akhirnya dimenangkan sang konsumen. Di tingkat banding Mahkamah Agung (MA), konsumen itu tetap dibenarkan dan SP harus memenuhi tuntutan sebesar Rp 60 juta.

Kasus ini bermula dari hilangnya mobil Toyota Kijang keluaran tahun 1994 saat tengah diparkir di Cempaka Mas Plaza tahun 2000 silam. Sang konsumen kemudian lapor ke SP dan juga kepolisian. Setelah mobil tak kunjung ditemukan, konsumen menuntut ganti rugi namun SP menolaknya dan kasus terus berlanjut hingga MA.

Namun hingga saat ini, SP belum juga melaksanakan perintah MA sehingga pengacara konsumen tadi berniat melaporkannya ke pengadilan negeri agar aset-aset SP disita hingga mendapatkan jumlah sepadan dengan tuntutan.

Kasus yang membuat kita harus waspada. Meski namanya Secure Parking (Parkir Aman), ternyata tidak sesuai dengan janji. Paman saya pun pernah kehilangan mobil di Pantai Gading di mana pengelolaan parkirnya diurus oleh SP. Saya tak tahu bagaimana kelanjutan kasus itu, karena kebetulan mobil yang hilang adalah milik perusahaan.

Urusan parkir sekarang memang jadi hal yang besar, karena meski kelihatan mudah (hanya atret maju mundur dan mengunci) ternyata bisa menyulitkan. Makanya, tak heran sepeda motor yang muncul belakangan ini sudah lengkap dengan pengamanan ekstra. Mulai dari kunci stang/starter yang non konvensional guna menghindari pemakaian kunci T (kunci khusus yang digunakan pencuri) hingga pengunci roda. Ada pula pemilik motor yang menambah sendiri kunci gandanya dengan pemutus elektrik.

Sistem parkir yang harus menunjukkan kartu STNK saat akan meninggalkan lokasi parkir, ternyata juga tak banyak berguna jika oknum petugasnya "bermain". Jadi, kunci pengaman ganda itu mutlak dibutuhkan.

Untuk mobil, dulu ada kunci stang yang menggunakan nomor kombinasi seperti tas koper model kuno. Namun sekarang kunci model itu sudah tak ada lagi, padahal sistem kombinasi itu sangat sulit dihancurkan. Kalau model yang sekarang banyak dijual hanya sistem kunci putar dan itu masih bisa dirusak pencuri.

Tak heran mobil sekarang juga memperkuat jaringan keamanannya sendiri. Tapi kalau yang terlalu canggih seperti sistem keamanan mobil BMW Serie 7. Wah itu justru bikin puyeng. Jangankan pencuri, wong calon pembelinya juga harus menjalani penataran teknis dulu.
 
posted by Hedi @ 3:57 PM | Permalink | 3 comments
Wednesday, March 22, 2006
Daftar Atau Mati?
Di inbox email saya ada kiriman yang mengingatkan bahwa nomor ponsel prabayar harus diregistrasi hingga batas waktu 29 April 2006. Saya tersenyum kecut bacanya. Bahkan di situ ada pula komentar menteri departemen komunikasi bahwa kartu yang belum didaftarkan sampai lewat tanggal itu akan kadaluarsa alias hangus.

Beberapa hari yang lalu, saya sudah coba registrasi dan saya pikir beres. Tapi saya jadi bingung ketika kawan menunjukkan adanya balasan di ponselnya dalam bentuk nomor identitas pendaftaran. Lha, kemarin kok saya tak dapat balasan serupa?

Saya yang sudah gaptek ini jadi makin bingung. Apakah saya harus coba registrasi lagi yang jumlah tahapannya sebanyak tujuh kali itu. Atau memang server registrasinya yang tidak siap untuk menangani hajat besar ini sehingga proses daftar jadi kurang mulus.

Pendaftaran nomor ponsel dimaksudkan pemerintah supaya nomor tidak disalahgunakan untuk kejahatan. Tapi apa ada bukti empiris atau korelasi bahwa pendaftaran nomor akan menghilangkan tindak kejahatan melalui ponsel. Bagaimana sebuah nomor bisa diyakini takkan dijadikan sarana kejahatan jika kartu identitas yang ikut didaftarkan fiktif? Namun proses (daftar) itu tetap harus kita lakukan. Saya seakan tak punya pilihan jika pada akhirnya semua untuk kebaikan bersama.

Saya hanya berpikir kenapa barang pribadi yang secara resmi dibeli harus didaftarkan pula. Demikian pula dengan bank, mau menabung uang sendiri kok harus pakai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) segala. Itu saya alami beberapa waktu lalu di sebuah bank swasta.

"Kenapa harus pakai NPWP, mbak?" tanya saya kepada seorang customer service yang melayani saya.

"Iya, ini untuk menghindari money laundry," katanya sambil tersenyum berusaha manis.

Pencucian uang? Saya cuma geleng-geleng kepala. Saya cuma mau menabung rutin yang jumlahnya tak sampai berjuta-juta. Maksimal saya hanya akan titip uang sebanyak sejuta, itu pun belum pasti. Mana mungkin melakukan pencucian uang dengan jumlah hanya sebesar itu. Tapi kebijakan ini pun tak bisa diutak atik. Hanya saja, untuk urusan bank masih ada substitusi, tak seperti nomor ponsel.

Artinya, saya menabung di sana dengan mengurus NPWP dulu atau mencari bank lain yang tidak menerapkan kebijakan itu. Akhirnya saya pilih yang kedua. Bukan apa-apa, mengurus NPWP...waduh saya tak bisa membayangkan!
 
posted by Hedi @ 6:12 PM | Permalink | 7 comments
Depresi
Awalnya, saya tak pernah khawatir dengan yang namanya depresi, kecuali stroke. Tapi setelah mendapat kabar seorang kolega menderita depresi tingkat berat, sikap saya jadi berubah. Bagaimana saya tidak terkejut, wong orang itu sebaya dengan saya. Jadi, dalam usia yang relatif muda ternyata sudah bisa terkena depresi?

Waktu saya cari tahu kenapa dia bisa terkena depresi dan harus masuk "bengkel" segala, jawabannya adalah kelebihan muatan (overload) di kepalanya. Rupanya, dia terlalu banyak berpikir selama ini, bahkan kemudian berevolusi menjadi obsesi. Saya jadi ingat pemain sepakbola Jerman dan Bayern Muenchen, Sebastian Deisler, yang sempat mengalami depresi akibat didera cedera berbulan-bulan lamanya.

Depresi sebenarnya tingkat lanjutan dari stres yang berlangsung lama. Dalam dunia kesehatan atau psikologi, stress dikenal dengan istilah distress, ada yang positif dan ada pula negatif. Yang kedua itulah yang bisa promosi jadi depresi. Lalu, penyebabnya hingga saat ini tak ada yang spesifik dan tak bisa diidentifikasi secara pasti. Ini salah satu yang ditulis Wikipedia:


Life experiences – Job loss, financial difficulties, long periods of unemployment, the loss of a spouse or other family member, divorce or the end of a committed relationship, or other traumatic events may trigger depression. Long-term stress at home, work, or school can also be involved.


Saya pikir kombinasi pengalaman hidup itu yang membuat kolega saya mengalami depresi. Kondisi kerja yang sangat ketat dan butuh ketelitian setidaknya menjadi pemicu otaknya untuk bekerja keras sehingga mengalami korsleting.

Saya masih beruntung, sampai sekarang selalu membatasi pikiran dari hal yang ruwet. Tak usah memaksakan sesuatu yang memang (sudah) terlalu jauh dari jangkauan. Jika memang milik kita, toh tak akan kemana-mana. Semua manusia pasti punya masalah. Tapi jangan hanya dipikirkan, tapi harus dipecahkan, diselesaikan. Saya sering menemui orang-orang yang hanya memikirkan masalah tanpa kelihatan sedang mencari pemecahannya. Mungkin, curhat bisa membantu jika kepala sudah terasa sesak, minimal lewat tulisan jika tak ada orang yang bisa diajak mencari solusi.

Otak adalah mesin induk tubuh manusia. Di dalamnya banyak kabel dan pusat data dengan sitem ekstra rumit sehingga sampai kini pun masih jadi misteri. Jadi otak adalah server, tentu perlu maintenance seperti halnya server blogspot yang kala sedang menjalani perbaikan dan pemeliharaan justru sering mengganggu jadwal para blogger untuk posting.

Sesorang bijak pernah mengatakan kepada saya agar memberi waktu istirahat kepada otak, minimal waktu tidur malam. Seringkali orang berpikir sebelum terlelap, entah masalah berat atau ringan. Memang enak, berpikir atau melakukan kontemplasi sesaat sebelum tidur. Tapi yang tak banyak orang tahu bahwa saat kita tertidur, otak yang tadinya masih sempat diajak kerja justru tidak beristirahat. Kita enak-enak ngorok, otak masih terus kerja bakti. Akhirnya, otak bekerja penuh selama 24 jam karena keesokan harinya saat kita bangun, dia harus menyambung kerja lagi.

Proses istirahat yang dibutuhkan nyaris sama dengan mata yang terkena cahaya saat tidur malam dengan lampu menyala. Lampu atau cahaya terang membuat syaraf-syaraf mata tak beristirahat secara penuh meski kita tidur.

Sekarang, kolega saya itu masih menjalani post-therapy. Hidupnya sudah mulai normal kembali, namun masih terbatas. Dia boleh dengar lagu atau nonton tv. Tapi dia dilarang menyaksikan atau mendengar musik rock, berita, atau hal-hal serius. Dia juga belum boleh melakukan kontak via telepon.

Ah, kalau begitu, kita dengar musik saja, dan saya tetap pilih heavy metallll...enjoy.
 
posted by Hedi @ 1:46 PM | Permalink | 2 comments
Tuesday, March 21, 2006
Scrabble Kombinasi Push Up
Pernah main asah otak dan kata ala Scrabble? Saya yakin banyak yang sudah pernah tapi apa pakai kombinasi hukuman push up? Itu yang pernah saya alami waktu masih kongkow bersama kawan-kawan sekuliahan dulu. Kata scrabble pula yang muncul pertama kali ketika saya bertemu kawan lama akhir pekan kemarin.

Sewaktu masih mengontrak rumah bersama dengan empat orang kawan, kami sering memainkan game di malam hari (belajarnya kapan?). Entah itu permainan kartu remi, truf atau domino (gaple). Permainan boleh berbeda, tapi hukuman bagi yang kalah tetap sama, push up, termasuk saat bermain scrabble. Lalu bagaimana perhitungannya? Ini yang seru!

Dasar memang masih masuk dalam usia semangat, semua harus bisa menghasilkan hukuman push up. Permainan kartu atau domino kami menggunakan sistem perhitungan RT. Artinya, dibuat dulu angka penutup permainan, katakanlah 100. Maka orang yang nilainya tidak mencapai itu harus menjalani hukuman. 100 kemudian dibagi empat dan hasilnya 25. Hanya karena ada unsur kasihan bila satu orang harus push up sebanyak itu, maka dibagi untuk dua orang terbawah dan harus push up sebanyak 12 kali.

Lalu bagaimana dengan scrabble yang nilainya bisa mencapai lebih dari 100? Ini lagi mengandung semangat iseng anak-anak muda. Pokoknya kami ngotot angka tertinggi dibagi sekian agar bisa menghasilkan angka yang tidak lebih dari 20 saja untuk hukuman push up.

Permainan scrabble berbahasa Inggris, susah-susah gampang. Baik yang punya TOEFL tinggi atau rendah, pasti punya kesulitan yang sama. Mereka yang fasih pasti bingung juga apabila delapan huruf yang dimiliki seluruhnya huruf mati (konsonan), belum lagi jebakan-jebakan di papan permainan.

Sempat pula ada yang bermain curang dengan memasang kata yang tidak banyak diketahui orang. Maka untuk menyiasatinya, dihadirkanlah kamus. Hanya masalahnya kamus yang bagaimana dulu dan berapa banyak koleksi katanya. Ini yang kadang-kadang jadi perdebatan.

Ada juga permainan scrabble untuk bahasa Indonesia. Tapi ini bukan masalah nasionalis atau tidak, rasanya bahasa persatuan itu kurang enak dimainkan dalam scrabble. Saya jadi merenung, bagaimana bila ada scrabble untuk bahasa daerah?
 
posted by Hedi @ 5:34 PM | Permalink | 5 comments
Sunday, March 19, 2006
Melepas Kangen
Berada jauh dari tempat asal atau tempat favorit sering mengundang kangen. Entah pada seseorang, mahluk hidup lain, makanan, atau suasana. Saya hanya setengah berdarah Solo, bukan seperti mas Balung yang asli kota batik. Tapi soal kangen pada makanan khas Solo, saya serupa dengan dia.

Ketika sedang dalam perjalanan menuju kantor tadi, saya pun mampir di depan markas besar Brimob Kelapa Dua, Depok. Saya bukannya mau ke markas polisi elite (yang sedang berduka) itu, tapi wajah ditarik untuk menengok dan menghentikan kendaraan karena ada spanduk berwarna kuning yang bertuliskan "Kupat Tahu Solo - Kangen". *...hmm, sayang tak ada kamera*

Ketika sudah berada di depan meja dagangan, saya baru sadar bahwa kios kaki lima itu ternyata tak hanya menjual ketupat tahu, namun juga sego kucing (nasi kucing) dan pernik lainnya khas jajanan Solo, seperti tempe mendoan plus petis udang. Memang belum lengkap, tapi seperti judul warungnya, cukup buat melepas kangen.

Sebenarnya warung itu sudah seminggu terakhir jadi perhatian saya. Namun baru kali ini bisa dan niat berhenti guna membeli ransum untuk penahan kantuk dan lapar saat kerja nanti. Saya pesan satu porsi ketupat tahu dan satu bungkus nasi kucing (isi teri) plus dua tusuk sate telur puyuh. Untuk ukuran Jabodetabek, semua dibungkus dengan harga Rp 7000 masih cukup murah...

Makanan tradisional di Jabodetabek memang sulit dicari atau kalau pun ada hanya cukup untuk kangen-kangenan saja, belum bisa memenuhi kualitas asal. Beberapa rekan yang asli Jawa Timur, rata-rata mengeluh kesulitan menemukan rujak cingur meski bukannya tak ada. Tapi mereka maklum karena petis yang menjadi bumbu rujak cingur sulit diperoleh di ibukota. Saya tak tahu dan tak berniat tanya dari mana warung ketupat tahu tadi bisa mendapatkan petis yang masih masuk dalam keluarga terasi.

Sulitnya mencari makanan asli dari daerah asal bukan hanya didominasi orang kita. Kawan saya yang berasal dari Amrik pun sering sulit mendapatkan paket makanan dengan menu omelet telur, meski masih bisa memperoleh hamburger. Kalaupun ada di kafe atau hotel tertentu dan dia tak mungkin harus setiap hari makan di situ. Alhasil, dia wajib menyesuaikan diri dengan makanan kita yang penuh bumbu itu.

Tapi, saya biarkan saja, toh penyesuaian diri adalah salah satu esensi hidup. Mungkin itu pula yang menjadi alasan sejumlah pemain asing asal Amerika Latin di sepakbola kita saat sedang asyik makan soto ayam pada suatu waktu.
 
posted by Hedi @ 10:46 PM | Permalink | 5 comments
Saturday, March 18, 2006
Salahkah Menjadi Dingin?
Bertemu kawan lama adalah hal yang menyenangkan walaupun dalam obrolan kemudian ada kabar-kabar yang buat hati jadi meringis. Sebelum berangkat ke kantor hari Jumat malam, saya sengaja menunggu seorang kawan yang baru seminggu kembali ke Jakarta. Dia pun senang bukan kepalang melihat saya rela menunggunya datang.

Banyak kabar yang saling kami lontarkan masing-masing. Tapi ketika dia mengatakan saya masih jadi orang yang cuek, saya hanya tertawa meski di dalam hati merenung. Apakah salah menjadi orang cuek, terutama pada kejadian-kejadian di sekitar.

Urusan cuek atau dingin, saya memang sudah terkenal di antara banyak kawan akrab. Mereka menilai saya sering tidak menggubris yang biasa digubris orang lain. Mungkin kalau dalam bahasa kerennya, biasa disebut apatis. Mantan teman dekat saya pernah mengatakan bahwa saya sangat cuek. Waktu saya tanya ada di angka berapa dalam skala 1-10, dia bilang 8 *walahhh*.

Mungkin, sikap seperti itu menjangkiti saya karena beberapa pengalaman buruk. Maksud hati peduli terhadap seseorang yang masuk dalam "link", tapi justru mendapat balasan yang tidak pada tempatnya. Saya tak tahu apa itu salah saya dalam penggunaan kata-kata atau memang dia yang berpikir negatif.

Alhasil, saya pun menjadi punya kehati-hatian untuk menyatakan peduli atau bersimpati. Tentu untuk hal berbentuk sumbangan, amal, kecelakaan dan dukacita atau kemalangan sejenisnya, saya tetap seperti orang kebanyakan. Hanya, sebelum melakukan itu, saya akan memikirkan situasi dan kondisinya.

Saya pernah berada di dekat perempuan yang kecopetan, tapi saya tak tahu bagaimana kejadian persisnya dan macam apa pelakunya. Yang saya tahu dia sudah jadi korban. Ada satu-dua orang yang peduli dengan bertanya dan mengusulkan solusi. Sedangkan saya tetap menjadi pendengar sesaat untuk kemudian diam lagi tanpa menggubrisnya.

Buat saya, kejadian yang sudah jadi bubur itu memang hanya bisa ditindaklanjuti oleh si korban sendiri atau (kalau memang ada) aparat. Mencoba bersimpati pun, barangnya tetap tak akan kembali dan bersimpati pun sudah diwakili orang lain. Ah, kamu memang cuek banget sih...
 
posted by Hedi @ 9:17 PM | Permalink | 3 comments
Friday, March 17, 2006
Burung Gereja
Selepas bangun tidur siang tadi, saya iseng melihat-lihat pohon yang tumbuh di halaman rumah. Saya senang, selain hijau royo-royo dan subur, ada pengunjung setia yang juga kelihatan senang. Jika pagi-pagi biasanya banyak burung gereja (Passer Montanus) hinggap dan berloncatan di area halaman rumah, siang itu hanya sepasang.

Saya bukan pemelihara burung (dalam sangkar). Tapi supaya saya bisa menikmati pemandangan burung-burung, maka rumah saya harus rela dijadikan "hutan" oleh saya dan juga ibu. Pohon rambutan, palem botol, dan duren, adalah lambang halaman depan rumah saya yang cukup sempit. Mungkin pohon-pohon itu juga menjadi lambang tempat bermain burung gereja.

Dalam masa flu burung sekarang ini, saya pun merasa burung gereja seperti tak terpengaruh. Dari gerak-gerik mereka, saya melihat bahwa mereka sehat tak menunjukkan tanda terjangkiti sesuatu yang negatif. Mulai dari bunyinya sampai lompatan mereka yang lincah.

Dulu waktu sekitar rumah saya masih banyak pohon besar, banyak burung yang hinggap di sana, tidak hanya burung gereja. Tetapi setelah "hutan" itu menjadi barisan beton, kegemaran saya menikmati burung jadi berkurang. Saya juga sedih melihat pohon-pohon di sejumlah jalan di Jakarta yang harus dipangkas hanya untuk kepentingan pembangunan jaringan transportasi monorel.

Untung saja burung itu tak mungkin melakukan demonstrasi besar-besaran kendati tempat bermain mereka mulai mengerut. Padahal kalau mereka paham dan mau demo, mungkin kota ini bisa penuh dengan kotoran mereka.
 
posted by Hedi @ 1:10 AM | Permalink | 7 comments
Thursday, March 16, 2006
Tarif Listrik (Akan) Naik Lagi
Mau pintar memodifikasi informasi sambil menutupi fakta sebenarnya? Belajarlah kepada pemerintah. Pengendali negara kita ini memang aneh, mau menaikkan tarif listrik saja, sampai memutar kata-kata.

Hari ini ada berita bahwa pemerintah akan menaikkan tarif listrik sebesar 10 persen. Yang terkena kenaikan adalah konsumen rumah tangga dengan kapasitas daya terpasang minimal 1300 volt ampere (VA) dan konsumen industri. Sementara untuk kapasitas di bawah 1300 VA tidak dikenai kenaikan.

Menurut pemerintah, mereka yang punya kapasitas 1300 VA lebih sebenarnya bisa juga tidak dikenai kenaikan apabila mampu menggunakan dayanya di bawah kapasitas terpasang. Bingung kan? Maksudnya, jika kita pakai cuma 900 VA dari kapasitas 1300 VA, maka biaya rekening listrik kita tak akan terkena kenaikan. Jadi, kata kuncinya tergantung pemakaian.

Tapi apa benar PLN akan mengukur dengan benar kapasitas yang digunakan setiap pelanggan setiap periodenya. Lha sistem sekarang saja terkadang sering ngawur, rumah kosong yang tidak ditempati dengan penggunaan (hanya ) lampu luar saja bisa dikenai biaya lebih dari Rp 100 ribu.

Itu baru rumah tangga, belum efek dari kenaikan untuk konsumen kelas industri. Apabila pabrikan mengalami kenaikan listrik, bukankah harga produk mereka akan naik juga karena biaya listrik adalah salah satu unsur di dalam biaya produksi.

Pemerintah memang moy...
 
posted by Hedi @ 12:35 AM | Permalink | 4 comments
Wednesday, March 15, 2006
Saya Dulu Rasialis
Ini memang sebuah pengakuan. Maraknya kasus rasisme di Eropa, khususnya di bidang sepakbola profesional, seperti menampar masa lalu saya. Rasisme yang akhir-akhir ini kerap muncul terjadi di Italia dan Spanyol.

Di Italia bahkan seperti terjadi "peperangan" antara komunisme dengan fasisme-neo nazi. Bisa ditebak, pemicunya adalah kulit berwarna (baca: negro). Alasan pastinya, tak ada. Semua hanya berdasarkan sentimen belaka. Kawan saya yang kebetulan tinggal di Barcelona, Spanyol, juga mengatakan "biasalah, kulit putih."

Paham rasisme yang pernah saya anut tak berdasar pula, ketika pola pikir masih anak-anak dan saat masih berusia bau kencur. Saya dulu tak senang dengan masyarakat dari etnis Tionghoa. Namun lama kelamaan (seiring perjalanan waktu), saya jadi berpikir bahwa pola pikir saya salah total. Tak ada yang bisa membenarkan itu, termasuk dari agama yang saya anut.

Kebencian saya dulu terhadap etnis Tionghoa, lebih banyak didasari pada kecemburuan sosial bahwa etnis itu lebih banyak yang berhasil dan sukses. Artinya, tak ada alasan rasional lainnya yang bisa mendukung saya harus bersikap rasialis.

Malah, kini saya berpikir bahwa kalaupun ada etnis Tionghoa atau etnis manapun yang bisa memicu sikap permusuhan, bukan salah etnisnya. Itu salah orangnya sendiri dan kita tak bisa melakukan generalisasi terhadap etnisnya. Stigma bahwa suku ini begitu dan suku itu begini, tak lagi rasional untuk saya. Tak ada gading yang tak retak...

Jika memang etnis tertentu lebih maju, ada baiknya itu dijadikan rangsangan bagi kita sendiri untuk maju. Jangan seperti mayoritas pribumi yang lebih banyak iri dan dengki. Etnis tertentu bisa berhasil karena memang mereka mau berusaha dengan gigih dan ulet, sementara kita (terkadang) lebih suka malas-malasan sambil mencari kejelekan orang.

Jadi, sekarang saya adalah pendukung anti rasisme...so Kick Racism out of This World!
 
posted by Hedi @ 1:22 AM | Permalink | 2 comments
Tuesday, March 14, 2006
Security Kampungan
Selesai memandikan motor ke jasa cuci umum hari Senin kemarin, saya melanjutkan perjalanan ke rumah kawan lama di daerah Condet, Jakarta Timur. Kawan saya ini dinilai banyak kolega sebagai pusat informasi, orangnya percaya diri dan punya idealisme tinggi. Cerita kesana kemari, saya dapat kejutan bahwa dia terlibat baku hantam dengan petugas keamanan festival musik Java Jazz. Lho?

Kawan saya itu pergi nonton dengan adik perempuannya di hari terakhir festival (Minggu, 5 Maret 2006). Karena ada "panggilan alam", adiknya pun permisi sebentar ke toilet. Namun tak dinyana, area di mana toilet itu berada adalah area steril. Menurut pihak keamanan yang ada di sana, area itu hanya bisa diakses oleh mereka yang menggunakan tanda pengenal alias ID Card khusus. Alhasil, adik sang kawan terlanjur masuk tapi tak bisa keluar.

Situasi itu tentu menggelitik pikiran kawan saya, bagaimana bisa masuk tapi tak boleh keluar. Kebijakan yang dijelaskan oleh oknum security membuat kawan saya tak puas, karena beberapa kali dia melihat orang-orang atau karyawan hotel Hilton, termasuk office boy, bisa mondar-mandir melewati area steril itu. Padahal, tak satupun dari mereka menggunakan tanda pengenal.

Sekitar setengah jam tertahan di dalam area itu, adik perempuannya pun bisa keluar setelah bernegosiasi dengan koordinator keamanan yang kebetulan datang. Namun kawan saya sudah terlanjur kesal sehingga dia mendatangi oknum keamanan itu dan serta merta menghantamnya.

"Anda lihat tidak, adik saya sekarang bisa keluar. Tapi coba anda lihat, apakah adik saya menggunakan ID Card? Kebijakan macam apa yang anda lakukan? Padahal anda bilang adik saya tak bisa keluar," tanya kawan saya selepas memukul oknum itu.


Saya tersenyum melihat kawan saya terus cerita sambil protes bahwa event internasional seperti Java Jazz itu melibatkan sejumlah orang yang bermental kampungan. Selain itu, kawan saya juga mempertanyakan kenapa orang-orang yang bekerja di dalamnya tak diliput oleh banyak media, kecuali Kompas dan Jakarta Post.

Saya sendiri termasuk ngebet ingin nonton, tapi karena Kompas sempat menulis sejumlah kekurangan dalam penyelenggaraan, niat itu menghilang. Saya toh tak mau membuang uang sekitar Rp 300.000 jika kualitas yang diperoleh cukup rendah. Beberapa kekurangan yang paling mengganggu minat saya untuk datang adalah kualitas dan penanganan sound sistem yang katanya amatir.

Urusan keamanan, saya setuju memang harus ketat apalagi di jaman penuh teror seperti sekarang. Tapi jika sudah berada di dalam area festival, seharusnya semua penonton dijamin kenyamanannya. Proses penyaringan sudah harus dilakukan sejak pintu masuk, sehingga mereka yang sudah berada di dalam dipastikan aman dan bukan pihak-pihak yang berniat memancing di air keruh.

Ataupun jika ada steril area di dalam area festival itu sendiri, toh bisa diambil kebijakan khusus sesuai kondisi alias tak perlu kaku. Apalagi dalam kasus kawan saya, mereka adalah pemegang tiket dan tak ada alasan atau motivasi untuk memperkeruh suasana kecuali hanya ingin menonton konser jazz.

Kalau urusan sikap profesional kerja, lebih baik gunakan hansip di kawasan perumahan saya tinggal. Mereka pasti tak mau pusing dengan area-area khusus, yang lewat tanpa alasan jelas di waktu-waktu tak normal, harus diinterogasi dulu. Itu pun pasti dilakukan selunak mungkin dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
 
posted by Hedi @ 11:58 PM | Permalink | 2 comments
Sunday, March 12, 2006
Jaim Demi Pencuri?
Menjaga citra diri, reputasi, dan sebangsanya ada kalanya memang perlu. Tapi kalau melakukan itu demi hal-hal yang negatif, sepertinya perlu cari referensi baru jika tak mau dikatakan keram otak. Jadi jika kita perlu jaim hanya untuk (melindungi) pencuri dari perhatian publik, buat saya salah total.

Saya dapat kiriman SMS dari seorang kawan yang punya profesi guru sekolah menengah pertama. Dia mengeluh sulitnya mencari solusi setelah salah seorang muridnya (minimal satu orang) diduga melakukan pencurian di kelas. Barang yang hilang adalah ponsel dan ini adalah peristiwa kehilangan kedua di sekolah itu.

Yang membuat kawan saya pusing tujuh keliling adalah situasi yang tidak mendukung. Selain orang tua si korban yang menuntut kasus ini diselesaikan tuntas, termasuk penggantian barang yang hilang, pihak sekolah ternyata memberi parameter yang aneh.

Pihak sekolah, dalam hal ini yayasan dan manajemen, tidak mengizinkan kawan saya untuk membawa kasus ini ke polisi. Alasannya, demi nama baik sekolah *konyol !*. Mereka sepertinya tidak berpikir apakah tanpa ke polisi, berita kasus ini juga tak akan kemana-mana. Bagaimana dengan murid-murid yang pasti akan melakukan sambung mulut berbagi cerita dengan pihak luar.

Saya sendiri mengusulkan polisi tak berseragam untuk menyelesaikan kasus ini, sambil membawa alat deteksi kebohongan. Namun kawan saya tetap menolak karena pesimis usul itu akan diterima pihak sekolah.

Padahal sekolah ini sudah pernah mengalami kehilangan uang sejumlah ratusan ribu, namun kala itu masih beruntung orang tua korban tak memperpanjang. Tapi buat saya, indikasi bahwa sekolah itu punya unsur kriminal di dalamnya makin kental. Jika didiamkan, bisa jadi sinyalemen yang gawat.

Kasus Raju yang hanya karena perkelahian anak-anak saja bisa (terlanjur) diseret ke pengadilan (kendati itu tak dibenarkan oleh Undang Undang) dan dihukum, mengapa kasus pencurian justru tidak?

Yang melakukan sudah pasti anak SMP (lebih tua dari Raju) dan tindakannya adalah kriminal. Ini bukan sekedar klepto, tetapi sudah jelas maling. Kenapa tidak diproses hukum saja, kalaupun tidak perlu sampai pengadilan, setidaknya kantor polsek bisa membuat efek jera bagi pelaku. Saya yakin jika kasus ini tak dibawa ke polisi, akan muncul kasus-kasus serupa di masa depan di sekolah itu.

Jaim...jaim...ada apa denganmu?
 
posted by Hedi @ 1:26 AM | Permalink | 7 comments
Friday, March 10, 2006
Waspadai Penculikan Anak
Apa jadinya jika anak anda hilang? Perasaan panik, sedih dan geram, sudah pasti campur aduk menjadi satu. Sebuah forward masuk ke inbox saya beberapa hari yang lalu. Topiknya soal penculikan anak di lokasi keramaian, dalam hal ini pasar swalayan. Mengerikan juga bacanya.

Seorang ibu yang sedang berbelanja di Carefour, tiba-tiba kehilangan seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun, padahal anak itu berdiri tak jauh darinya. Kontan si ibu panik, namun otaknya masih mampu bekerja dengan cepat untuk segera melaporkannya kepada pihak keamanan Carefour.

Beruntung manajemen mega swalayan asal Prancis itu juga sigap. Mereka punya kebijakan pengamanan yang boleh dibilang bermutu. Tanpa tetek bengek macam-macam, seluruh pintu keluar dijaga rapat jika tak mau dikatakan ditutup. Maksudnya sudah jelas, mempersempit ruang gerak si pelaku. Maklum, kejadian dengan pelaporan hanya berselisih lima menit, jadi masih ada waktu untuk meringkusnya.

Ternyata benar. Si anak ditemukan dalam kondisi terbius di sebuah toilet. Rambutnya sudah tercukur setengah bagian dan hanya tinggal mengenakan pakaian dalam. Di dekat si anak ditemukan sebuah alat cukur dan sebuah rambut palsu (wig), namun tak ada tanda-tanda si pelaku yang bisa dipastikan sudah membaur kembali dengan pelanggan di dalam swalayan tersebut. Jika saja Carefour terlambat melakukan tindakan preventif, mungkin anak itu sudah menghilang dengan penyamaran hebat.

Dalam situasi (ekonomi) sulit seperti ini, memang sangat banyak modus kejahatan dengan variasi yang bermacam-macam pula. Kondisi tempat umum yang padat pengunjung memudahkan pelaku untuk memisahkan anak-anak dari orang tuanya. Jadi tinggal kita yang harus hati-hati, waspadalah!
 
posted by Hedi @ 1:00 AM | Permalink | 7 comments
Thursday, March 02, 2006
Buku Dulu Baru Internet
Salah satu kebiasaan saya adalah membaca. Memang tidak selalu buku, karena bisa juga koran, majalah, atau buletin. Secara umum, saya maniak terhadap printed materials. Tapi setelah saya kenal internet (saya tak tahu sudah berapa lama), saya baru sadar bahwa kebiasaan lama itu sedikit hilang.

Dulu jika ada satu buku baru, saya biasa membacanya dalam waktu minimal satu minggu. Saya tak bisa membaca dengan cepat, katakanlah tiga hari selesai, karena keterbatasan daya tampung otak dan waktu. Kecuali, membaca cerita silat Kho Ping Hoo yang bisa selesai dalam waktu dua hari kendati jumlahnya mencapai 30 jilid.

Dua hari lalu, saya begitu dikejutkan dengan kebiasaan lama itu. Alih-alih hanya membereskan rak di kamar, saya baru sadar punya dua buku yang baru saya baca sekitar 5-10 lembar!. Padahal dua buku itu sudah saya miliki sejak sekitar tiga tahun lalu.

Internetkah yang harus disalahkan? ooo tidak. Seperti kata Rifie, mainstream tidak harus tersingkir.

Dibandingkan dengan internet, buku memang tidak sebanding. Internet yang tanpa batas dengan jumlah link tak terhingga pasti lebih unggul dibanding buku yang hanya satu eksemplar dan hanya menulis topik terbatas.

Di Indonesia, jika akses menuju internet terbuka lebar, maka orang cenderung memilih itu daripada membeli buku yang sudah pasti harganya mahal (karena dikenai pajak barang mewah oleh pemerintah...payah!). Kecuali, buku itu eksklusif dari segi ide, bahasan, edisi atau memang patut dan pantas dibeli.

Saya terlena dengan adanya internet. Di dunia maya ini, saya belum pernah gagal mendapatkan informasi yang kebetulan dibutuhkan, betapapun baru dan asingnya info atau masalah yang membuat saya penasaran mencari jawabannya. Dengan bantuan Mr. Google, maka fokus saya untuk mencari tahu lewat buku jadi berkurang.

Saya pikir, internet memang melengkapi ruang informasi saya. Jika saya tak memanfaatkan "mainan baru" manusia itu, mungkin belum tentu saya tahu definisi istilah-istilah baru, kejadian di balik kejadian dan sebagainya. Jika saya harus membeli buku yang memuat informasi mengenai mereka, mungkin bisa beberapa tahun lagi atau mungkin juga tidak karena terbatasnya kemampuan finansial.

Setelah kejutan menghilang, saya pun harus kembali menyeimbangkan minat baca (buku) saya dengan kegiatan klik sana sini. Baca dulu, baru cari pelengkap atau pembanding di internet.
 
posted by Hedi @ 3:57 PM | Permalink | 10 comments